Belakangan ini
bayangan kematian mengusik pikiranku. Dua hari terakhir berita berturutan kepergian dua sahabat yang tak begitu dalam aku
mengenalnya, meski begitu cukup membuat sesak
rongga dada kiriku. Isakku tercekat. Aku tak bisa menangis. Hal itu
menambah nyeri pedihku.
Kematian, menghadapinya aku
tidak merasa terlalu takut terus terang. Hanya selalu saja ada kepedihan
mengingatnya. Kelebat sosok terdekat, mereka yang terlanjur kukenal baik namun belum
sempat menabur bahagia.. mereka yang tak sengaja berpapasan di simpang jalan
menuju pulang, meski begitu telah dalam membekas mengisi ruang usang perjalanan.
Sejujurnya aku tak mengharapkan pada akhirnya segalanya membeku dalam jeda panjang
kehilangan.
Dosa tak lagi bisa menakutiku. Kalapun ada rasa takut, rasa bersalah pada kemanusiaanlah yang kerap mencemaskanku. Juga ketidakadilan pada mereka yang pernah terluka karenaku. Kesadaran itu menghantuiku.
Dosa tak lagi bisa menakutiku. Kalapun ada rasa takut, rasa bersalah pada kemanusiaanlah yang kerap mencemaskanku. Juga ketidakadilan pada mereka yang pernah terluka karenaku. Kesadaran itu menghantuiku.
Ada kekhawatiran yang
dalam mengoyak keterasinganku, bukan pada kematian justru lebih pada persoalan kehidupan.
Aku terlanjur mencintai hidup dengan segala permasalahan, sedikit cemburu, dendam,
rasa rindu juga cinta yang sesekali terlalu angkuh untuk tetap bersikukuh menyimpan debarnya
sembunyi-sembunyi bercampur malu.
Kelak, jika aku memiliki
satu hari sebelum segalanya terhenti, aku ingin berterus terang ‘Aku mencintai
kalian hingga akhir..’
Kelak sebelum segalanya berakhir, kita mencuri waktu, kembali bernyanyi dengan riang masa kanak berlarian di lembah-lembah urdu memainkan dadu siapa lebih dulu mendekap mesra Tuhan sesekali bercumbu.. menyalami tangannya yang dingin, menatap dalam kehampaan yang ia tanggung pada sorot matanya kala Dia kita tinggalkan sekian lama. Pastilah Tuhan merindukan kita..
Kelak jika akhir itu tiba.. Kita masih akan sering bercengkrama, ngobrol-ngobrol ringan di ambang beranda miliknya. Bukan surga pula neraka. Meski tak lagi kita kenali senja, kita akan sering menyempatkan dan duduk di sebuah tanah lapang persis stadion bola, sembari menyesap lekat kepulan kopi ditengah perbincangan kita yang kian hangat. Begitu seterusnya, tak sabar aku dan kau bergantian bercerita pada Tuhan tentang detil perjalanan di dunia antah berantah kita seolah kawan lama yang telah berlapis abad tak saling bertukar kabar.
Kelak sebelum segalanya berakhir, kita mencuri waktu, kembali bernyanyi dengan riang masa kanak berlarian di lembah-lembah urdu memainkan dadu siapa lebih dulu mendekap mesra Tuhan sesekali bercumbu.. menyalami tangannya yang dingin, menatap dalam kehampaan yang ia tanggung pada sorot matanya kala Dia kita tinggalkan sekian lama. Pastilah Tuhan merindukan kita..
Kelak jika akhir itu tiba.. Kita masih akan sering bercengkrama, ngobrol-ngobrol ringan di ambang beranda miliknya. Bukan surga pula neraka. Meski tak lagi kita kenali senja, kita akan sering menyempatkan dan duduk di sebuah tanah lapang persis stadion bola, sembari menyesap lekat kepulan kopi ditengah perbincangan kita yang kian hangat. Begitu seterusnya, tak sabar aku dan kau bergantian bercerita pada Tuhan tentang detil perjalanan di dunia antah berantah kita seolah kawan lama yang telah berlapis abad tak saling bertukar kabar.
Aku atau kalian lebih
dulu... Ah, siapa dan bagaimanapun, kematian adalah kematian. Tak ada yang benar-benar memahaminya..
... Kurasakan tiba-tiba kematian jadi akrab seperti yang pernah diungkapkan Djoko Amono ketika hidupnya, seakan kawan berkelakar yang mengajak tertawa..
... Kurasakan tiba-tiba kematian jadi akrab seperti yang pernah diungkapkan Djoko Amono ketika hidupnya, seakan kawan berkelakar yang mengajak tertawa..

Fenny Wahyuni,
Menanggal – Surabaya, 08
Juni 2013
*teruntuk kalian yang
pernah mesra denganku.. kalian yang terlanjur mengenal pedih juga cemburuku.
Semoga damai di sisiNya selalu... also
tribute to Taufik Kiemas, Rest in Peace...