Saturday

Kelak, jika Akhir itu Ada..


­­­­­Belakangan ini bayangan kematian mengusik pikiranku. Dua hari terakhir berita berturutan kepergian dua sahabat yang tak begitu dalam aku mengenalnya, meski begitu cukup membuat sesak rongga dada kiriku. Isakku tercekat. Aku tak bisa menangis. Hal itu menambah nyeri pedihku. 

Kematian, menghadapinya aku tidak merasa terlalu takut terus terang. Hanya selalu saja ada kepedihan mengingatnya. Kelebat sosok terdekat, mereka yang terlanjur kukenal baik namun belum sempat menabur bahagia.. mereka yang tak sengaja berpapasan di simpang jalan menuju pulang, meski begitu telah dalam membekas mengisi ruang usang perjalanan. Sejujurnya aku tak mengharapkan pada akhirnya segalanya membeku dalam jeda panjang kehilangan. 

Dosa tak lagi bisa menakutiku. Kalapun ada rasa takut, rasa bersalah pada kemanusiaanlah yang kerap mencemaskanku. Juga ketidakadilan pada mereka yang pernah terluka karenaku. Kesadaran itu menghantuiku.

Ada kekhawatiran yang dalam mengoyak keterasinganku, bukan pada kematian justru lebih pada persoalan kehidupan. Aku terlanjur mencintai hidup dengan segala permasalahan, sedikit cemburu, dendam, rasa rindu juga cinta yang sesekali terlalu angkuh untuk  tetap bersikukuh menyimpan debarnya sembunyi-sembunyi bercampur malu.

Kelak, jika aku memiliki satu hari sebelum segalanya terhenti, aku ingin berterus terang ‘Aku mencintai kalian hingga akhir..’

Kelak sebelum segalanya berakhir,  kita mencuri waktu, kembali bernyanyi dengan riang masa kanak berlarian di lembah-lembah urdu memainkan dadu siapa lebih dulu mendekap mesra Tuhan sesekali bercumbu.. menyalami tangannya yang dingin, menatap dalam kehampaan yang ia tanggung pada sorot matanya kala Dia kita tinggalkan sekian lama. Pastilah Tuhan merindukan kita.. 

Kelak jika akhir itu tiba.. Kita masih akan sering bercengkrama, ngobrol-ngobrol ringan di ambang beranda miliknya. Bukan surga pula neraka. Meski tak lagi kita kenali senja, kita akan sering menyempatkan dan duduk di sebuah tanah lapang persis stadion bola, sembari menyesap lekat kepulan kopi ditengah perbincangan kita yang kian hangat. Begitu seterusnya, tak sabar aku dan kau bergantian bercerita pada Tuhan tentang detil perjalanan di dunia antah berantah kita seolah kawan lama yang telah berlapis abad tak saling bertukar kabar.  

Aku atau kalian lebih dulu... Ah, siapa dan bagaimanapun, kematian adalah kematian. Tak ada yang benar-benar memahaminya..

... Kurasakan tiba-tiba kematian jadi akrab seperti yang pernah diungkapkan Djoko Amono ketika hidupnya, seakan kawan berkelakar yang mengajak tertawa..


 https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgdlxU6lg07LRszbv-T1OEuuXn7D8EnWUw2HMLUzxS5rtGeBka1p8RgKrwz6fI9wcROFjiYgE3cNqUfYhKCUyHQ09fZ4NgwFujOylIvKwuismIhkUbIqifBTS4XcE5fk_UvBi4ih6kwGv4/s320/kuburan.jpg


Fenny Wahyuni,
Menanggal – Surabaya, 08 Juni 2013
*teruntuk kalian yang pernah mesra denganku.. kalian yang terlanjur mengenal pedih juga cemburuku. Semoga damai di sisiNya selalu...  also tribute to Taufik Kiemas, Rest in Peace...






A Meaningful Life is Bigger than a Happy Life (?)

Pada satu pagi di tahun 2017, cuit burung di luar rumah terdengar saling bersahut. Aku lupa kapan persisnya, tapi masih bisa kuingat udara p...