Monday

Akhir November 2025 - Minggu yang Muram

Seminggu belakangan ini aku merasa ada yang berubah dari diriku. Bukan perubahan yang keras atau tiba-tiba— lebih seperti pergeseran halus yang baru terasa saat aku duduk sendirian, diam, dan benar-benar ngedengerin isi kepalaku sendiri.

Pemahamanku tentang diri, tentang financial literacy, tentang apa yang kubutuhin sebagai manusia, semua itu seperti lagi disusun ulang. Ironisnya, aku merasa justru baru mulai hidup sekarang— baru mulai metain masa depan, punya target, ambisi yang pengen kukejar, yang sebelumnya tidak aku punya, yang sebelumnya secara sadar dan sengaja tidak pernah aku set or kalkulasi target ke depan hidupku bakal atau harus seperti apa. Barangkali karena aku gemar baca sastra sekaligus berpikir filosofis, kalkulasi hidup hanya akan mengurangi nilai keindahan dan makna hidup itu sendiri. 

Sampai satu minggu lalu, kabar itu datang. Teman dekatku berpulang— tanpa ada satu pun dari kami (aku dan teman-teman) tahu dia sakit apa. Dia terlihat sehat, aktif, bahkan di hari terakhirnya. Dan tiba-tiba… selesai.
Momen kehilangan ini bukan kali pertamaku, tapi kali ini membuatku menyadari hidup terlampau fragile. Kamu boleh punya mimpi, visi, rencana lima tahun, seribu alasan buat bertahan. Tapi kalau waktunya sudah sampai, ya udah. Berakhir sudah.

Dan begitu saja, semua yang tadinya kukejar terasa tidak lagi punya bobot. Seperti aku berdiri di tengah-tengah hidup yang jalan terus, tapi aku sendiri berhenti dan bertanya: “Lalu apa?”

Di bawah permukaan itu semua, ada amarah lama yang sebenarnya sudah kukenal sejak bocah. Amarah ke sistem agama dan negara.
Aku tumbuh sebagai perempuan yang dulunya religius taat— patuh, percaya, ikut aturan. Sampai akhirnya aku menyadari that I am not fit in dengan hukum agama. Aku tidak punya ruang di sana. Dan sekeras apa pun aku berusaha, aku tidak akan bisa mengubah “aturan” itu.
Jadi satu-satunya yang bisa kuubah adalah diriku, reaksiku terhadap sistem itu. Aku memutuskan untuk berjarak. Tidak lagi religius. Tidak lagi merasa terikat. Dan untuk pertama kalinya, aku merasa bebas, dan bernapas sebagai diriku sendiri.

Sementara kemarahanku ke negara, aku masih dan akan terus menyimpan api kecil kemarahan itu. Dulu, kemarahan menggebu. Sekarang lebih sunyi, lebih terukur. Perlawanan kecil terhadap kebijakan yang sewenang-wenang; lewat story, tweet, opini pendek. Api itu masih ada, cuma tidak lagi membakar dadaku setiap saat.

Barangkali ada hal paling kurindukan adalah diriku yang dulu. Diri yang semangat, yang bisa menekuri keheningan dan merasakan kenyamanan dari pemahaman sederhana tentang hidup.
Diri yang bisa merangkul kesedihan dan tetap merasa hidup penuh makna— entah karena cinta, patah hati, atau rasa sakit yang justru bikin aku merasa kuat, merasa sanggup, merasa berani, menghadapi segala kemungkinan hidup, bahaya sekalipun.

Dan mungkin itu alasan kenapa aku nulis lagi.
Karena barangkali kelak, aku ingin lihat cerita ini dari luar, lewat tulisan, biar aku mengerti apa yang sebenernya aku rasakan.
Atau barangkali aku hanya ingin menyimpan perasaan hari ini, karena aku tahu suatu saat aku akan lupa, dan ketika kubaca ulang, aku bakal sadar: “Oh, aku pernah ngerasain ini.”

Di ujung semua ini, ada satu harapan kecil yang masih aku pegang:
Aku ingin mengembalikan makna itu—  makna hidup yang dulu membara di setiap detaknya.
Makna yang membuat momen sekecil apa pun terasa benar-benar berharga.
Makna yang membuat aku bangun pagi dan merasakan hidup itu, meski sederhana, tetap worth fighting for, tetap indah begitu adanya.



Tuban, 1 Desember 2025

Akhir November 2025 - Minggu yang Muram

Seminggu belakangan ini aku merasa ada yang berubah dari diriku. Bukan perubahan yang keras atau tiba-tiba— lebih seperti pergeseran halus y...