Friday

A Meaningful Life is Bigger than a Happy Life (?)

Pada satu pagi di tahun 2017, cuit burung di luar rumah terdengar saling bersahut. Aku lupa kapan persisnya, tapi masih bisa kuingat udara pagi itu terasa begitu dingin seperti satu musim di pertengahan tahun. Aku baru saja bangun dari tidur, dan tidak seperti refleks yang ada di pikiran pertama kali yaitu gratitude. Rasa syukur atas segala berkat; sehat, sejuk udara, cericit burung burung, juga keberadaan orang orang terkasih.

Pagi itu seperti pagi di hari hari sebelumnya, aku terbangun di sampingnya. Namun yang berbeda di pagi itu, selain feeling grateful, ada perasaan berongga bukan persis kosong atau sepi sebab membutuhkan keberadaan seorang teman-- Sebaliknya, aku merasa saat itu begitu bahagia, merasa hidupku cukup. Semua berjalan begitu baik, kesehatan, asmara, pekerjaan, pertemanan, juga keluarga. Seketika pertanyaan melintas di benakku: dan jika hidupmu sudah tercukupi, semua ini telah membuatmu bahagia, lalu apa? tiba tiba hampa menyergap. 

Ada kesadaran atau keingingan lebih besar dari sekedar hidup bahagia, seperti terlibat dalam sebuah pergerakan, sebuah perjuangan bersama untuk kehidupan lebih adil. Ah, muluk sekali rasanya, kenyataannya sampai saat ini, hari hari kujalani dengan bekerja dan upaya membebaskan diri sendiri.


Di simpang jalan, kita melanjutkan langkah dan memilih arah yang berbeda

Jalan hidup boleh jadi memaksa kita memillih arah yang berbeda, namun setiap kali berbicara tentang keadilan, ingatanku selalu kembali padamu. Pada malam malam yang kita habiskan dengan berjalan kaki di sepanjang trotoar kota lama Semarang, berbicara tentang banyak hal. Kamu seperti biasa, bercerita tentang gereja gereja tua di kawasan kota lama, tentang kerukunan umat beragama, masalah sektarian, tentang pendidikan, persoalan anak dan perempuan, serta nasib orang orang yang terpinggirkan. 

"Apa itu adil?" tanyamu setengah berbisik.

"Adil itu jika aku ingin menikah denganmu, maka kamupun mau," Aku menjawab pertanyaanmu sekenanya tanpa mengurangi keseriusan ucapanku.

Kulihat kamu tersenyum, lalu menunduk muram seperti ada perasaan kalah yang diam diam kamu sembunyikan.

Kamu seperti masuk dan menekuri hidup melalui kacamata Kafka dengan Kafkaesquenya dalam melihat keadilan. Muram, dan tanpa harapan.

Kamu melihat orang orang di negeri ini layaknya tokoh tokoh di cerita Kafka dalam tulisannya Before the Law (di Depan Hukum) yang tengah berada di situasi sulit, terjebak dalam paradoks dan ironi hidup. Terhimpit sistem yang tak manusiawi, birokrasi ruwet dan tak masuk akal, serta kekuasaan yang sewenang wenang. Alih alih mengubah sistem, orang orang bahkan tak punya kemampuan mengubah nasibnya sendiri. Begitulah, kamu seperti halnya Kafka menggambarkan keadilan sebagai hal yang terlampau suram.

Suasana malam di taman kota lama ini makin sepi, tak lagi terlihat bocah bocah kota berkejaran dengan sepatu rodanya. Angin yang sedari tadi tanpa malu mencumbu tanganmu membuatku cemburu, pelan kugandeng mesra tanganmu yang mulai kedinginan itu, berusaha menghangatkan dan menguatkan rapuhmu.

Kuajak kamu melihat dunia dari kacamata Camus, menekuri hidup yang meski absurd, yang boleh jadi tidak ada makna inheren di dalamnya, namun kita selalu dapat berbahagia dengan tindakan tindakan sederhana. Menikmati hidup dengan moment moment kecil yang selalu dapat kita maknai seperti halnya perbincangan kita malam ini.  

"Meski terdengar utopis, keadilan selalu dapat kita perjuangkan, Sayang. Kita hanya tidak boleh berdiam pasrah, kita harus menentukan sikap untuk melakukan perlawanan. Sekalipun dengan perlawanan perlawanan kecil yang panjang. Bukankah perubahan perubahan besar di dunia ini juga dimulai dengan perlahan?" ucapku mengajakmu agar berani berharap. 

"Seringkali harapan justru membunuhmu," katamu bersungut kemudian murung kembali, realita seperti menyudutkanmu.

"Harapanlah yang menghidupkanku, setidaknya begitulah caraku dulu memperjuangkanmu," kalimatku meyakinkanmu.

Kulanjutkan dengan menukil kalimat Camus yang barangkali dipengaruhi permenungan eksistensialnya Rene Descartes: cogito, ergo sum (Aku berpikir, maka aku ada)-- "I rebel, therefore I exist,". "Dalam berharap, dalam berjuang dan melawan kita harus punya strategi, rebel with a plan," imbuhku kemudian kuteruskan bercerita padamu tentang strategi perlawanan yang kumaksud.

Setidaknya ada dua strategi yang dapat kita jadikan acuan dalam melakukan perlawanan: 1) Fight and have fun, and 2) Self-empowerment.  

Jalan perjuangan akan terasa panjang, terjal, dan sunyi. Maka itu, kita perlu selain berjuang, juga jangan lupa bersenang senang (you fight and have fun). Karena jika nantinya kita kalah, dan perjuangan kita tidak membuahkan hasil, setidaknya kita telah melakukannya dengan penuh senang. 

Dan yang utama dari itu adalah self-empowerment: upaya kita memberdayakan diri kita sendiri. Tidak bermental victim, yang selalu merasa terpuruk seakan akan seluruh dunia harus hadir dan membela kita. Poin kedua ini, dengan kata lain dapat ringkas dalam satu adagium populer: lebih baik menyalakan lilin daripada mengutuk kegelapan.


"Freedom is not a gift received from the State or leader, but a possession to be won everyday by the effort of each and the union of all."-- Albert Camus.



Fenny Wahyuni
Surabaya, 19 Juli 2024




Wednesday

Do You Compromise Your Idealism?

Do you compromise your idealism?

Sebaris pertanyaan itu kutemukan di buku yang barusan kubaca. Jadi teringat Gie dengan kalimatnya, I'm not an idealist anymore, I'm a bitter realist.

Penulis lalu melanjutkan dengan pernyataan: maybe idealism is not an extreme choice between yes or no. Maybe it's a spectrum-- yang artinya kita bisa adjust spektrum itu pada level tertentu.

Dengan definisi itu, tiba tiba membuatku mengingat pilihan hidup Ahmad Dhani yang dalam satu wawancaranya pernah bilang bahwa lagu Kangen Dewa19 menurutnya adalah lagu terjelek yang pernah ia bikin. Dia meminta pada produser agar tak merilisnya, namun produsernya memiliki penilaian lain terhadap lagu itu. Alhasil, lagu Kangen rilis dan meledak di pasar. Bayangkan kalau saja waktu itu Dhani ngotot ke produsernya untuk tidak usah merilis Kangen. Dalam hal ini, kita tahu Dhani telah adjust skala idealismenya.

Idealisme berasal dari kata ide yang berarti gagasan, pemikiran. Dalam permenungan beberapa orang terdahulu dalam pencariannya akan realitas, sampailah mereka pada kesimpulan bahwa substansi realitas atau kenyataan yang ada adalah ide, pemikiran, persepsi, kesadaran individu atau kolektif. Salah satu tokoh utama dalam sejarah Filsafat yang memperkenalkan dan mengembangkan konsep idealisme klasik adalah Plato. Plato beranggapan bahwa realitas sejati terletak pada ide, yang tak lain adalah model atau paradigma dari segala sesuatu yang ada di dunia nyata. Plato juga meyakini bahwa pengetahuan atau kebenaran sejati bukanlah hasil dari pengamatan indrawi semata, melainkan juga kontemplasi terhadap ide ide.

Selain Plato, ada Hegel, Kant, dan beberapa pemikir lain yang mengembangkan variasi pandangan idealisme. Kenyataan pada akhirnya adalah kesadaran yang komprehensif dan dialektis, kata Hegel dengan idealisme absolutnya. Sementara Kant mengembangkan idealisme transendental yang beranggapan bahwa struktur dasar realitas dipengaruhi oleh cara berpikir manusia dalam mengatur dan memahaminya. 

Pandangan yang berbeda secara fundamental dengan idealisme, disebut dengan materialisme. Materialisme meyakini bahwa dasar dari realitas bukanlah ide, melainkan eksistensi materi fisik. Salah satu tokoh yang turut berperan dalam mengembangkan materiaslime historis adalah Karl Marx. Perkembangan sosial dan politik dalam sejarah manusia, menurut Marx, ditentukan oleh peran produksi, struktur ekonomi, dan materi. 

Jika kita tarik dalam konteks realitas atau kenyataan yang ada, kita dapati dua pandangan dasar yang berbeda (idealisme dan materialisme) di atas saling beririsan, atau mungkin berkelindan. Dalam definisinya, seorang idealis adalah seorang yang memegang pandangan idealistiknya-- meyakini dapat mencapai tujuan tujuannya yang ideal bahkan  jika itu tidak selalu praktis atau realistis.

Namun sejalan dengan pernyataan penulis di awal, bahwa di dunia yang kompleks ini, seringkali seseorang harus kompromi, mempertimbangkan faktor faktor praktis dalam mengejar tujuan tujuan idealistiknya. Persoalannya sejauh mana batas idealisme? sejauh mana kita dapat meng-adjust (menyesuaikan) skala idealisme untuk tetap dapat disebut sebagai orang yang idealis? Menjawab hal itu, beberapa aspek perlu dipertimbangkan dalam penerapannya: 1) fleksibilitas skala, dan 2) ketetapan ideal.

Dengan fleksibilitas skala, idealis dapat menyesuaikan langkah langkah praktis untuk mencapai tujuan idealistiknya berdasarkan konteks yang ada. Sementara ketetapan ideal merupakan batas atau rujukan adjustment/fleksibilitas skala idealisme. Meski idealisme dapat diadjust skalanya, namun dalam esensinya terdapat nilai tertentu yang dianggap sebagai standar moral atau dasar kebenarannya. Dalam arti lain, sekalipun seseorang dapat meng-adjust skala idealismenya, namun dalam banyak kasus, untuk mencapai tujuan praktis di hidupnya, seorang idealis tidak akan mengorbankan prinsip prinsip mereka sepenuhnya.

Sampai sini, do you compromise your idealism?



Fenny Wahyuni
Bojonegoro, 18 Juli 2024

Tuesday

It's You, It's always Been You

Close your eyes. Fall in love. Stay there. 

Seruan Rumi yang agaknya melihat cinta sebagai satu pengalaman positif yang membahagiakan. Kurasa memang begitu, bagaimanapun cinta adalah peristiwa menggetarkan, menguatkan, menawarkan bahaya sekaligus keindahan. Setidaknya, begitulah aku mencintaimu.

Barangkali tak satupun kamus dapat benar benar memberi definisi pasti tentang cinta. Seperti Sartre yang melihat cinta sebagai situasi rumit, sebab individu-individu selain berusaha mengintegrasikan kebebasan mereka dengan kebebasan orang lain, mereka juga ingin tetap menjaga kemandirian dan identitas pribadi mereka. Berbeda dengan Nietzsche yang dalam hal ini senada dengan Plato, beranggapan cinta adalah bentuk kekuatan yang dapat mendorong seseorang mencari pemahaman mendalam akan pertumbuhan spiritual dan kebijaksanaan. Sementara kata Eric Fromm, cinta adalah tindakan. Fromm memandang cinta dengan empati dan kemandirian sebagai fokusnya, adalah pengalaman mendalam yang melibatkan komitmen, perhatian, dan tanggung jawab terhadap orang lain.

Pada semua ketakpastian definisi tentang cinta, satu hal yang pasti adalah aku mencintaimu. Dan meskipun cinta adalah pengalaman personal yang tak dapat dipahami orang lain-- yang kutahu cinta tidaklah egois, ia murah hati; jikapun dia memilih pergi darimu nantinya, sekalipun sedih di akhir cerita. Kau akan dapat selalu mengingat orang yang kau cintai sebagaimana ingatanmu pada moment kali pertama di hidup; sebagaimana kali pertama kau belajar bersepeda, hari pertama kau pergi sekolah, atau pertama kali kau bisa berenang. Pengalaman hidup yang memberimu pahit, sekaligus membuncahkan perasaan haru dan bahagia yang tanpa kau upayakan, namun mampu kau ingat sepanjang hayat.

Tapi hidup bukanlah fairy tale, bukan pula drama Korea yang melulu berisikan romansa manis dan membahagiakan bukan? Hidup berjalan menawarkan banyak kemungkinan; suka dan duka. Selebihnya, hari hari berlalu dengan cukup transaksional. Di kantor, pabrik, instansi, jalan, kampus kampus bahkan di rumah rumah peribadatan sekalipun, tak pelak terjadi jual beli; prosesi menimbang nimbang untungkah atau rugi. 

Hidup tak ubahnya permainan-- pertaruhan antara menang kalah, perselisihan antara benar dan salah. Alih alih mendekatkan satu sama lain, kesibukan justru menjauhkan orang orang dari cinta, dari alasan yang bisa mempertaut eratkan. Pun di halaman pertama media, lalu lalang informasi tak henti hentinya memberitakan kabar duka juga kekerasan demi kekerasan. Namun orang yang mencintai, kata Rumi dalam salah satu tulisan Goenawan Mohamad, "menemukan tempat tempat rahasia di dunia yang penuh kekerasan ini. Di sanalah mereka "melakukan transaksi dengan keindahan".

...Begitulah, ketika hidup berjalan terlampau kaku dan tak berperasaan. Aku memilih menepi, kembali pulang ke dadamu: yang meski tak cukup besar, namun begitu lapang menampung letihku.

 I close my eyes, fall in love again, and always with you..



Bojonegoro, 17 Juli 2024
Selamat ulang tahun, sehat dan bahagia selalu








 


Merawat Ingatan

Lama sekali tidak menulis, sebelumnya aku berpikir akan merekam setiap peristiwa yang terjadi di hidupku di kepalaku sendiri. Seperti halnya kisah kita, akan kusimpan sendiri semua jejak perjalanan denganmu. Namun akhir akhir ini, daya ingat agaknya menurun, aku merasa sedikit lebih mudah lupa pada banyak hal yang bahkan baru saja kukatakan. Semakin ke sini, semakin sulit aku merecall ingatan tentangmu. Itu kenapa, hari ini aku akan mencoba lebih sering menuliskan apa saja yang selama ini terkandung di pikiran, semata untuk merawat ingatan.

Sepertinya tidak ada yang istimewa dari pikiranku, kecuali keresahan. Dan satu satunya keresahan yang kurawat sampai hari ini, hingga jauh di kemudian hari; ialah tentangmu, tentang cinta. Tidak ada satupun kekuatan yang dapat menggerakkan seseorang untuk dapat melampaui hidup, bahkan kematian sekalipun, kecuali cinta.

Begitu senang aku melihat orang orang dengan isi kepalanya yang brilliant, namun pada akhirnya yang membuatku terpikat adalah kebaikan hati. Meski begitu, berbuat baik ke orang lain saja tidaklah cukup, harus didasari dengan logika yang valid (penalaran yang akurat) agar kebaikan kita dapat membantu, tidak justru merugikan orang lain. Begitupun sebaliknya, brilliant cara mikir saja buatku tidaklah cukup, perlu humility dan upaya menumbuhkan empati; kemampuan kita merasakan penderitaan orang lain, agar tidak membuat kita jatuh pada kecongkakan, agar kedirian kita utuh (menjadi manusia yang berpikir, manusia yang perasa).


Seorang matematikawan, John Nash, di Beautiful Mind (my all time favorite movie) pernah bilang; 

"Perhaps it is good to have a beautiful mind, but an even greater gift is to discover a beautiful heart. You are the only reason I am. You are all my reasons."



Juanda - Surabaya, 5 Juni 2024.

 

Wednesday

Tuhan ialah Ingatan

Tuhan, kata Agus Noor ialah ingatan.. Dan ingatan, bisa selamanya tinggal. Atau selamanya tanggal.

Malam ini, aku mengingatmu Tuhan.. seberapa jauh aku mencoba pergi, adaMu lebih dekat ketimbang urat nadi. Gugup aku dengan keluhku kian gagap aku menyebutMu. MengingatMu, Tuhan.. ialah ingatan pada Maha Cinta, Maha Pengasih dan Penyayang. Maka hanya padaMu Tuhan, ingin ia aku perkenalkan. Semoga tak benar, jika ada cinta yang Kau larang.

Dialah kekasih, dengannya kurasa teduh. Saat dendam dan kebencian kian gaduh. Kala suara kemanusiaan tetap juga tak didengar, meski telah lama serak dalam gusar. Saat agama dan kepercayaan bertambah banyak dan bingar, tak lagi menuntun namun justru menuntut dan kian brutal. Senyumnya Tuhan, menyadarkan keputus-asaan bahwa cinta selalulah lebih indah dan menawan.

Jika suatu hari cintaku padanya melebihi cintaku padaMu, Tuhan.. marahkah Kau? Ia bahkan memintaku untuk lebih mencintaiMu ketimbang mencintainya. Aku tahu bukan dia tak cinta padaku, hanya begitulah salah satu upayanya menghamba padaMu. Ditengah kenyataan hidup yang egois, tidakkah menurutMu hatinya begitu manis? Ah, dia memang manis Tuhan.. Ia pun mencintaiMu lebih, daripada mencintaiku. Terus terang, aku cemburu padaMu. Tapi bagaimana mungkin kulawan Tuhan.

Kerap aku marah, kecewa dan menuduhkan segala chaos padaMu. Begitu kegelisahanku acap menghadirkanMu. Dan Kau masih juga dengan kesombonganMu bersembunyi dibalik jubah transparansi keMaha-anMu, memberi sekaligus mengentahkan harapan. Sempat ku umpamakan Kau orangtua durhaka yang menelantarkan anak-anaknya. Tapi imanku berkata Kau Lam Yalid Wa Lam Yuulad.

Bagaimanapun aku percaya Tuhan.. Kau bukanlah ‘hak milik’ setiap agama. Kau tak terpenjara dalam kepercayaan-kepercayaan simbolik dan hanya permukaan. Aku menyukai puisi-puisi indah Chairil Anwar-Di pintuMu aku mengetuk/Betapa susah sungguh, mengingat Kau penuh seluruh_Chairil menulis bait-bait indahnya diantara harap dan putus asa, dalam puisi itu kurasakan hadirMu lebih nyata daripada dalam doa-doa bahasa surga yang sekedar kuhafal-lafadzkan tanpa tahu artinya.

Lihatlah, mereka masih juga ribut berselisih memperkarakan harus menyembah-hadapMu ke arah mana, kesini atau kesana? Lalu surga pun begitu sepi kata Andrea, tapi kuingat janjimu Tuhan.. jika aku datang dengan berjalan. Engkau akan menjemputku dengan berlari.

Lantas disini, disana, kulihat sekeliling. Dimana-mana Engkau, Tuhan..

 

Fenny Wahyuni,
Surabaya, 26 Juni 2014 [02.30]
*Kutulis dengan ingatan padamu juga Tuhan seperti kanak berlarian..

Friday

Tuhan, Meresap dalam Kesedihan



Sedih, jika atas nama ras, suku, dan agama, kebijakan justru begitu ganjil dan tak adil. Selalu ada kepentingan pada hiruk pikuk politik, bau busuk reformasi, juga agama-agama yang tak dapat disangkal sekaligus kian mengerikan.  

Sedih, kalau saban hari kebencian makin bising terdengar. Penguasa sibuk memperkaya diri dengan hanya piawai berkoar. Sementara di terminal, di stasiun, di jalan-jalan: bapak tua meminta-minta, barangkali bisa membuatnya kenyang, dan untuk sebentar saja melupakan usia. Seorang ibu dengan punggung sedikit membungkuk ditunggangi dagangannya telah berangkat bertaruh nasib di Shubuh buta, kala mata dunia masih lelap dalam mimpinya.

Sedih, saat kenyataan bertubi mengabarkan berita buruk tentang perempuan: poligami, kekerasan, juga pelecehan seksual. Kenapa melulu kau beranggapan perempuan tak lebih tulang rusuk. Cukup digauli, selebihnya harus tunduk? Kenapa tak bisa perempuan menjadi pemimpin juga imam dalam sembahyang, jika ilmuku lebih mumpuni juga ejaan doaku lebih fasih terdengar? 

Aku perempuan, manusia bebas sepertimu. Berhak dan berdaulat atas sepenuhnya diriku. Kenapa masih saja kau dengan konstruk aturanmu membatasi dan melabeli perempuan haram ini itu? Kau terlahir dari rahimku, rahim perempuan: muasal kehidupan, kebebasan dan kecintaan. Sedang akal dan moralmu, masih saja sebatas kelamin, dan persetubuhan.

Aku ingin melihat kesedihan, ketakadilan, juga kebencian berakhir
Aku bermimpi tentang dunia yang hanya sibuk mencintai,  juga berkarya untuk peradaban yang lebih baik
Aku ingin merasai damai dengan dua tangan terhubung dan hati dengan senyum terukir





Fenny Wahyuni,
Menanggal, 20 Juni 2014

A Meaningful Life is Bigger than a Happy Life (?)

Pada satu pagi di tahun 2017, cuit burung di luar rumah terdengar saling bersahut. Aku lupa kapan persisnya, tapi masih bisa kuingat udara p...