Friday

Tuhan, Meresap dalam Kesedihan



Sedih, jika atas nama ras, suku, dan agama, kebijakan justru begitu ganjil dan tak adil. Selalu ada kepentingan pada hiruk pikuk politik, bau busuk reformasi, juga agama-agama yang tak dapat disangkal sekaligus kian mengerikan.  

Sedih, kalau saban hari kebencian makin bising terdengar. Penguasa sibuk memperkaya diri dengan hanya piawai berkoar. Sementara di terminal, di stasiun, di jalan-jalan: bapak tua meminta-minta, barangkali bisa membuatnya kenyang, dan untuk sebentar saja melupakan usia. Seorang ibu dengan punggung sedikit membungkuk ditunggangi dagangannya telah berangkat bertaruh nasib di Shubuh buta, kala mata dunia masih lelap dalam mimpinya.

Sedih, saat kenyataan bertubi mengabarkan berita buruk tentang perempuan: poligami, kekerasan, juga pelecehan seksual. Kenapa melulu kau beranggapan perempuan tak lebih tulang rusuk. Cukup digauli, selebihnya harus tunduk? Kenapa tak bisa perempuan menjadi pemimpin juga imam dalam sembahyang, jika ilmuku lebih mumpuni juga ejaan doaku lebih fasih terdengar? 

Aku perempuan, manusia bebas sepertimu. Berhak dan berdaulat atas sepenuhnya diriku. Kenapa masih saja kau dengan konstruk aturanmu membatasi dan melabeli perempuan haram ini itu? Kau terlahir dari rahimku, rahim perempuan: muasal kehidupan, kebebasan dan kecintaan. Sedang akal dan moralmu, masih saja sebatas kelamin, dan persetubuhan.

Aku ingin melihat kesedihan, ketakadilan, juga kebencian berakhir
Aku bermimpi tentang dunia yang hanya sibuk mencintai,  juga berkarya untuk peradaban yang lebih baik
Aku ingin merasai damai dengan dua tangan terhubung dan hati dengan senyum terukir





Fenny Wahyuni,
Menanggal, 20 Juni 2014

No comments:

A Meaningful Life is Bigger than a Happy Life (?)

Pada satu pagi di tahun 2017, cuit burung di luar rumah terdengar saling bersahut. Aku lupa kapan persisnya, tapi masih bisa kuingat udara p...