Tuhan, Meresap dalam Kesedihan



Sedih, jika atas nama ras, suku dan agama, kebijakan justru begitu ganjil dan tak adil. Selalu ada kepentingan pada hiruk pikuk politik, bau busuk reformasi juga agama-agama yang tak dapat disangkal sekaligus kian mengerikan.  

Sedih, kalau saban hari kebencian makin bising terdengar. Penguasa sibuk memperkaya diri dengan hanya piawai berkoar. Sedang di terminal, di stasiun, di jalan-jalan; pak tua meminta-minta, barangkali bisa membuatnya kenyang dan untuk sebentar saja melupakan usia. Seorang ibu dengan punggung sedikit membungkuk ditunggangi dagangannya telah berangkat bertaruh nasib di shubuh buta, kala mata dunia masih lelap dalam mimpinya.

Sedih, saat kenyataan bertubi mengabarkan berita buruk tentang perempuan: poligami, kekerasan juga pelecehan seksual. Kenapa melulu kau beranggapan perempuan tak lebih tulang rusuk. Cukup digauli, selebihnya harus tunduk? Kenapa tak bisa perempuan menjadi pemimpin juga imam dalam sembahyang, jika ilmuku lebih mumpuni juga ejaan doaku lebih fasih terdengar? Aku perempuan, manusia bebas sepertimu. Berhak dan berdaulat atas sepenuhnya diriku. Kenapa masih saja kau dengan konstruk aturanmu membatasi dan melabeli perempuan haram ini itu? Kau terlahir dari rahimku, rahim perempuan: muasal kehidupan, kebebasan dan kecintaan. Sedang akal dan moralmu, masih saja sebatas kelamin dan persetubuhan.

Aku ingin melihat kesedihan, ketakadilan juga kebencian berakhir
 
Aku bermimpi tentang dunia yang hanya sibuk mencintai,  juga berkarya untuk peradaban yang lebih baik

Aku ingin merasai damai dengan dua tangan terhubung dan hati dengan senyum terukir



 http://airul.me/wp-content/uploads/2014/02/HopefulFaceSilhouette.jpg



Fenny Wahyuni,
Menanggal, 20 Juni 2014

Comments

Popular Posts