Monday

Cukup Ingat Aku sebagai Diriku


Bagaimana mungkin manusia terlahir lalu menjadi begitu berbeda sebab rupa. Dimana satu pihak dinilai begitu ‘buruk’ bahkan anomali oleh pihak lainnya?

Aku tak bisa mengingat berapa umurku saat itu. Namun sampai saat ini, pada diri sendiri, aku masih kerap bertanya kenapa manusia diciptakan begitu berbeda baik kasta atau rupa? Ada yang rupawan, pas-pas-an, biasa tapi sedap dipandang, ada pula yang jeleknya tak ketulungan. Kita minimal perlu berbaik sangka bahwa yang buruk rupa bisa jadi menyimpan hati mutiara. Meski akhirnya segala prasangka tentang hidup, tak lebih nyata dari kenyataan itu sendiri. Tak jarang ada orang yang dilahirkan dengan rupa buruk, buruk pula perangainya, begitu sebaliknya.

Ada manusia yang terlahir sabar, ada juga yang berusaha keras untuk menjadi sabar. Aku termasuk yang kedua. Namun sifat, tentulah tak sama dengan rupa. Sifat atau perangai tak lain sikap yang selalu kita  upayakan. Hasil yang bisa kita capai dari pembelajaran serta pembiasaan. Orang bisa saja memiliki sifat baik atau buruk ialah pilihan personal. Berbeda denga rupa, sepenuhnya hasil karya sang pencipta dan manusia hanya bisa tinggal terima jadinya.

Waktu berjalan, manusia berubah dengan kebutuhannya yang beragam. Modernitas hidup menawarkan ‘jawaban’ untuk kebutuhan manusia bisa tampil ideal rupawan: hidung mancung, sedikit lancip dibagian dagu serta alis mata tegas dan gigi berjajar rapi bisa diperoleh sesuai pesanan. Perempuan yang mengingini ukuran payudara lebih besar, pria dengan tubuh atletis, begitu halnya mereka yang terperangkap oleh tubuh bawaan yang tak diingini. ‘Physically changing’  itu saat ini bisa diupayakan dengan melakukan plastic surgery juga transgender.

Bila kita menilai segala upaya manusia merubah apa yang melekat didirinya sebagai ‘karunia’  dengan transgender, plastic surgery atau usaha lainnya dari hanya segi agama. Tentu upaya tersebut serta merta tak dibenarkan. Mayoritas orang beragama pada umumnya antipati pada mereka yang memutuskan untuk plastic surgery terlebih transgend. Orang beragama menilai upaya tersebut ialah bentuk kekufuran, menyalahi kehendak penciptaan.

Atau jikapun tak perlu ada perubahan fisik itu. Bisakah kita menilai orang sebagai ke-sejatian dirinya? terlepas dari rupa, kasta atau segala atribut yang dia miliki. Cukup kita menilainya sebagai manusia dari pribadinya yang manusiawi.

Saat kita menuntut nilai ideal agama, tentu tak melakukan plastic surgery atau transgend lebih baik ketimbang mereka yang memilih melakukan. Kenyataannya, kehidupan manusia tak hanya garis lurus, urusan vertikal pada Tuhan. Manusia hidup dalam dua wilayah berbeda: wilayah spirit (agama) dan sekuler manusia sebagai individu yang bebas dengan setiap pilihan yang mereka ambil atas masing-masing dirinya. 

Jika kesenjangan rupa juga kasta ternyata tak hanya hasil dari bentukan atau konstruk sosial, melainkan adanya campur tangan Tuhan dalam penciptaan. Lantas masihkah manusia dengan segala upaya perubahan fisik yang bisa dia lakukan patut disalahkan?
 
Jika sudah begini, bukan mereka tak mensyukuri, tak pula mereka alpa berterima kasih atas setiap kodrat penciptaan, atas segala pemberian Tuhan. Pertanyaannya, sudahkah kodrat Tuhan adil?
    
          

Fenny Wahyuni,
Menanggal, 15 Mei 2014

No comments:

A Meaningful Life is Bigger than a Happy Life (?)

Pada satu pagi di tahun 2017, cuit burung di luar rumah terdengar saling bersahut. Aku lupa kapan persisnya, tapi masih bisa kuingat udara p...