Bagaimana mungkin manusia terlahir lalu menjadi
begitu berbeda sebab rupa. Dimana satu pihak dinilai begitu ‘buruk’ bahkan
anomali oleh pihak lainnya?
Aku tak bisa mengingat berapa umurku saat itu.
Namun sampai saat ini, pada diri sendiri, aku masih kerap bertanya kenapa
manusia diciptakan begitu berbeda baik kasta atau rupa? Ada yang rupawan, pas-pas-an,
biasa tapi sedap dipandang, ada pula yang jeleknya tak ketulungan. Kita minimal
perlu berbaik sangka bahwa yang buruk rupa bisa jadi menyimpan hati mutiara.
Meski akhirnya segala prasangka tentang hidup, tak lebih nyata dari kenyataan
itu sendiri. Tak jarang ada orang yang dilahirkan dengan rupa buruk, buruk pula
perangainya, begitu sebaliknya.
Ada manusia yang terlahir sabar, ada juga yang
berusaha keras untuk menjadi sabar. Aku termasuk yang kedua. Namun sifat,
tentulah tak sama dengan rupa. Sifat atau perangai tak lain sikap yang selalu
kita upayakan. Hasil yang bisa kita capai dari pembelajaran serta
pembiasaan. Orang bisa saja memiliki sifat baik atau buruk ialah pilihan
personal. Berbeda denga rupa, sepenuhnya hasil karya sang pencipta dan manusia
hanya bisa tinggal terima jadinya.
Waktu berjalan, manusia berubah dengan
kebutuhannya yang beragam. Modernitas hidup menawarkan ‘jawaban’ untuk
kebutuhan manusia bisa tampil ideal rupawan: hidung mancung, sedikit
lancip dibagian dagu serta alis mata tegas dan gigi berjajar rapi bisa
diperoleh sesuai pesanan. Perempuan yang mengingini ukuran payudara lebih
besar, pria dengan tubuh atletis, begitu halnya mereka yang terperangkap
oleh tubuh bawaan yang tak diingini. ‘Physically changing’ itu
saat ini bisa diupayakan dengan melakukan plastic surgery juga transgender.
Bila kita menilai segala upaya manusia merubah
apa yang melekat didirinya sebagai ‘karunia’ dengan transgender, plastic
surgery atau usaha lainnya dari hanya segi agama. Tentu upaya tersebut serta
merta tak dibenarkan. Mayoritas orang beragama pada umumnya antipati pada
mereka yang memutuskan untuk plastic surgery terlebih transgend. Orang beragama
menilai upaya tersebut ialah bentuk kekufuran, menyalahi kehendak penciptaan.
Atau jikapun tak perlu ada perubahan fisik itu.
Bisakah kita menilai orang sebagai ke-sejatian dirinya? terlepas dari rupa,
kasta atau segala atribut yang dia miliki. Cukup kita menilainya sebagai
manusia dari pribadinya yang manusiawi.
Saat kita menuntut nilai ideal agama, tentu tak
melakukan plastic surgery atau transgend lebih baik ketimbang mereka yang
memilih melakukan. Kenyataannya, kehidupan manusia tak hanya garis lurus,
urusan vertikal pada Tuhan. Manusia hidup dalam dua wilayah berbeda: wilayah
spirit (agama) dan sekuler manusia sebagai individu yang bebas dengan setiap
pilihan yang mereka ambil atas masing-masing dirinya.
Jika kesenjangan rupa juga kasta ternyata tak
hanya hasil dari bentukan atau konstruk sosial, melainkan adanya campur tangan
Tuhan dalam penciptaan. Lantas masihkah manusia dengan segala upaya perubahan
fisik yang bisa dia lakukan patut disalahkan?
Jika sudah begini, bukan mereka tak mensyukuri,
tak pula mereka alpa berterima kasih atas setiap kodrat penciptaan, atas segala
pemberian Tuhan. Pertanyaannya, sudahkah kodrat Tuhan adil?
Fenny Wahyuni,
Menanggal, 15 Mei 2014
No comments:
Post a Comment