pertemuan denganmu tidaklah mendalam
kita tak saling berjuang mati-matian menanam
jejak sebagai ingatan
umpama martir rela mati tanpa harap dikenang
tak pula cerita kita gempita
serupa gegap rindu seorang rantau pada kampung
halaman
terus membiru, dan menghujan.
martir dan rantau, keduanya: tentang cinta yang
tak sekedar, tak berkadar
sedang aku dan kamu: tak lebih teman, tak
sengaja berpapasan di simpang jalan menuju pulang
kamu, terus terang menurutku biasa saja
sebagaimana mereka
aku tak merasa perlu menilaimu, cukup untukku
mengenalmu sebagai teman yang baik
sampai akhirnya, tiba-tiba perih menyergap
ada benci sekaligus perlahan rasa kehilangan
lindap
kau pergi
sedang disini aku tak berhak berbuat lebih
banyak
selain memaksamu untuk tetap tinggal
urung kau pun beranjak
atau aku terlalu naif dan tergesa menyimpulkan
perasaan ini barangkali tak lebih melankoli
perpisahan: hanya sedih,
hanya pedih sebab merasa diacuhkan
olehmu, seorang teman biasa yang baik
kau dengannya__senang melihatmu bahagia
meski perih sejujurnya
ah sudahlah,
aku bahkan tak tahu dengan cara apa lagi
menyayangimu
jika dengan cemburu pun aku tak berhak untuk
itu
“kau seorang teman
biasa yang baik.” kutegasi diri
“kadang pergi adalah cara menyelamatkan hati,”
kalimat itu diam-diam kuamini
kuputuskan juga untuk pergi
mencoba tak peduli: padamu, pada hati
dan hari berganti, meski bersua kita kian
jauh
sejenak ada yang luruh: doa dan rindu yang
gemuruh
... perlahan kupahami,
ada cinta yang tak perlu menyentuh
Fenny Wahyuni,
Menanggal, 31 Mei 2014
No comments:
Post a Comment