Harga Kemanusiaan, Agama, dan Tuhan


Bibir pagi masih basah dengan senyum embunnya yang mengembang. Mendung mengabut di sela-sela harap dan cita. Segalanya masih sama, tampak abu-abu dalam samar nyala hidup yang kian menyemburat risau. Masa lalu adalah leluka juga suka cita yang tak patut dipersalahkan. Pun masa depan, biarlah merahasia sebatas tantangan. Hanya hari ini adalah milik kita, Sayang.. "Carpe diem!"  begitu kau pernah dengan lirih namun tegas berpesan.

Coffee Shop Jl. Bougenville no.57, tempat biasa sekaligus pertama kali kita bertemu. Aku disini menunggumu, di kursi paling pojok favoritmu. Tidak berbeda seperti kali pertama, kau datang dan tersenyum menjumpai diriku berjibaku dengan bukubuku dan secangkir kopi hitam pekat pesananku yang tak pernah banyak tingkah di meja depanku. Sejuk udara menerobos hangat di celah perbincangan yang lama tak lagi saling kita ritualkan, sejak kurang lebih dua setengah tahun lalu. Sedikit kaku, meski aku tahu kita sama-sama mengupayakan moment ini menjadi biasa lagi dengan sekedar ngobrol-ngobrol ringan. Bercerita tentang skenario hidup yang semakin rumit dengan plot antah berantahnya.Siapapun adalah tuhan atas takdirnya sendiri.



"Di stasiun ini, bocah-bocah tak lagi sekolah, menenteng gitar kayu sederhana buatannya mengharap receh dari saku-saku celana empunya yang kemungkinan mempercayai adanya surga atau sekedar memburu pahala. Di terminal-terminal itu, nenek tua menengadahkan tangan keriputnya, terduduk polos berharap iba dari siapa saja yang lewat di depannya. Pun disini, janda-janda bersama anak-anak mereka hidup di jalan-jalan, di kolong jembatan. Jangankan cita-cita, yang mereka tahu hanyalah perjalanan hidup yang sedapat mungkin mencoba mereka tawar dengan senyuman. Alih-alih asupan gizi, bisa memenuhi makan sehari ini saja menjadi syukur tak terhingga."

"Sedang di tempat lain sana, kontras pemandangan hidup terpampang. Leher-leher berdasi tengah tidur pulas di kursi empuknya. Kepala-kepala berkopyah saling mencaci, mengoar serakah akan kebenaran dengan standar yang dibuatnya sendiri. Bukankah perdamaian selalu lebih indah dan bijak membeber persoalan? Ah, bahkan harga kemanusiaan telah lama tergadaikan, Sayang.." Semangat kamu berkisah, sambil sesekali kau coba sembunyikan senyum getir keputusasaan atas kenyataan.

***
Pada senja yang merambat petang, gegaris jingganya menyapa tanya yang kau tujukan padaku tentang eksistensi kebenaran juga persoalan transparansi tuhan dalam agama. Bukankah tak ada yang mutlak, Sayang.. bahkan kebenaran pun memiliki masa. Ada saatnya ia berubah menjadi salah, atau hanya berada ditengah-tengah. Tidak benar, tak juga salah. Seperti abu-abu yang ada di selip antara hitam dan putih pendar remang lampu-lampu kota.

Tuhan? Agama? Perihal yang cukup kompleks dan tak pernah berujung dipersoalkan. Bahkan di kepala para pemikir dunia, fisikawan, sejarahwan juga filsuf-filsuf kenamaan. Setidaknya aku berpikir keras mencari jawaban atas pertanyaanmu secara logis, tanpa perlu mengingat materi yang pernah kupelajari di jenjang formalitas kotak sekat empat perkuliahan. Filsafat bukanlah sesuatu yang dapat kita pelajari; namun barangkali kita dapat belajar untuk berpikir secara filosofis.

Gamang aku meraba-raba argument yang ingin ku berikan atas pertanyaanmu. Aku tak tahu bagaimana harus ku renda kalimat serapi mungkin, menyusun bait-bait aksara menyoal tentang agama. Satu perkara paling sensitif di telinga mereka yang kanan, yang kiri, apalagi bagi mereka yang menempatkan dirinya di posisi sebelah kirinya golongan kiri. Ah, bukankah sudah semestinya kita melihat dunia secara universal?

"Bagaimana jika kita hanya bertuhan, tanpa perlu beragama?"  bertubi kau lontar tanya

"Jika karena agama, perang sesama tak terhindarkan. Jika karena agama, kita memperebutkan kebenaran dan melupakan kehidupan sekitar. Pun masih karena agama, setiap orang ribut menamai dirinya tuhan. Atau bahkan kenyataannya sekalipun tanpa agama, setiap nurani telah mampu membedakan mana salah dan yang benar. Masih perlukah kita beragama?" Sejurus  pertanyaanmu kemudian yang menurutku masuk akal.

"Bukan perkara theis atau atheis yang menjadi soal bagiku. Tapi autotheis, mereka yang beranggapan dirinya sebagai tuhan. Mereka yang mencoba menjadi hakim atas diri yang lain. Di situlah permasalahannya." Statementmu mencoba menjelaskan.

"Namun bagaimanapun, aku percaya adanya tuhan. Seperti ku percaya keberadaanmu dihatiku. Tak harus terucap, karena ia nyata meski tanpa kata. Keyakinan inilah yang mendorong jiwa untuk bisa melihat apa yang tak tampak secara kasat mata. Setelah beberapa tahun lalu kita sempat terceraikan waktu. Aku masih sangat mengenalmu.. seperti itu juga aku ingin dalam mengenalNya.." Lirih dengan suara parau tertahan, kau mencoba meyakinkan gejolakmu yang melintang perasaan.

Aku hanya bisa tersenyum melebur dalam gelisahmu. Memandangi matamu yang tajam namun begitu teduh untukku mengadu. Kau terlampau tegar dengan prinsip idealismu itu, Sayang.. membuatku merindu keluhmu. Merindu sakitmu. Menjadi manusia yang manusia. Tersenyum, menertawakan hidup yang tak lagi manusiawi, meski begitu sesekali aku juga berharap dapat menyeka air matamu, Manisku.. Menenangkan dan mendekapmu dalam pelukku. Membawamu ke tempat yang tak satu setanpun tahu. Berbicara tentang anjing-anjing kita yang nakal dan lucu.

Aku ingin pergi hanya bersamamu, Sayang.. ke surga yang belum pernah dipesan siapapun, oleh agama manapun..


Fenny Wahyuni
Malang, 24 Jan 2012
*Catatan untukmu, Sayang.. perbincangan pribadi untuk gelisah yang tak usai.. Berharap kau mengerti. Semoga!

Comments

Popular Posts