Kepadamu, Hans..


Detik masih dengan angkuhnya memutari tabiatnya. Hari-hari meranum usia, merekam dan membuahkan ceritanya sendiri. Beberapa waktu menyisakan ingatan akan sesuatu, moment berharga pun sebaliknya, kejadian-kejadian yang terlalu ironis untuk akhirnya kita jadikan pelajaran nantinya. Bahkan tak jarang pula tanpa permisi fikiran kita melampaui masa silam tentang ingatan akan seseorang.

Mereka yang pernah ada. Mereka yang pernah peduli. Nama-nama yang pernah tertulis untuk bersamasama membungkus hidup dalam pahatan kisah temporer namun dalam meninggalkan tapak tak berbatas. Membekas dalam ruas-ruas hidup, memberi nyeri tak terperi namun juga membahagiakan. Menyakitkan, namun kenangnya menenangkan. Tidak ada lain, kecuali adanya menguatkan, mendewasakan diri yang terkadang masih sering menjadi egois dan kekanak-kanakan..

Hans.. laju hidup ini biarlah berjalan semestinya. Terus mengalir meski tanpa kita pernah tahu kapan akan berakhir. Ada beberapa hal yang harus diambil, direnungi dan dikhidmati dalam hidup. Bagaimanapun hembus nafas ini menyisipkan kesempatannya sendiri untuk tiap masing-masing diri kita menjadi.

Entah sudah berapa banyak nama yang telah hadir mewarnai lengkung perjalanan hidup ini bak bias semburat pelangi. Entah berapa sering peristiwa menjelma disetiap gerak. Sebagian merapuh dalam batas ruang. Sebagian yang lain tak pernah dengan sempurna tergantikan. Meski memudar terkadang, namun ingatan akannya kembali menggema manakala hati kecil ini mencoba membunyikan lagi kenang gaungnya. Seperti adamu yang selalu menyuara dihatiku..

Kita yang dulu selalu bersama, menjelajahi lengang jalanan kota untuk sekedar ngobrol-ngobrol ringan tentang masa senja kita yang tak pernah sanggup kita raba dan rencanakan. Menghabiskan malam mencicipi sekaligus mengomentari jajanan di seruas warung angkringan tempat kita biasa menghela kepenatan. Entah telah berapa purnama, aku tak lagi melihatmu, Hans..

Sejujurnya, aku merindukanmu. Ada yang berkecamuk saat ku bukai lembar usang surat-surat darimu juga foto-foto kala kita bersama dulu. Terlampau banyak kalimat yang ingin ku susun serapi mungkin untukmu, Hans.. bercerita tentang liku hidup yang begitu abu-abu..

Bicaramu yang menasehati namun tidak terkesan menggurui. Gelisah luahan hatimu padaku akan masa depan. Juga gerutumu akan nasib kita masing-masing nantinya. Aku mengerti kekhawatiranmu, Hans.. namun toh, pertunjukan hidup tak pernah berhasil kita tebak endingnya. Seperti siapa sangka akhirnya hidup memilih melontarkan kita pada kenyataan yang jauh berbeda dengan apa yang kita gumam dan angankan saat itu.

Kini, masih kita berdekatan namun terasa begitu jauh.. kau tak lagi mampu mengenaliku, Hans.. Memang benar, apa yang dulu pernah kau katakan padaku. Kadang kita memang harus belajar hal yang berbeda dalam satu waktu; belajar untuk mencintai dan melupakan sekaligus.. kenyataan itulah yang aku hadapi saat ini tanpamu, Hans..

...Bagaimanapun, tak seorangpun ingin dilupakan, apalagi secara tiba-tiba. Seperti aku yang terus berjuang menanam jejak di batinmu..




Fenny Wahyuni
Tumpang, 01 February 2012 [01.58]
*the one and only place I could truly meet you is in the memories we've ever made.

Sampai jumpa, jaga kesehatan dan diri baik-baik, Hans..
Apapun kenyataannya saat ini, kau selamanya nyata dihatiku..

Comments

Popular Posts