Saturday

Jejak yang Tertinggal.. (Untukmu, Adikku.. Kawan Kebanggaanku)


Aku sebagaimana kamu, biasa dan sederhana saja..  menjalani hidup sebagaimana mestinya. Mencoba tegap menapak arah disela gelisah. Berusaha tersenyum lirih di antara timbunan perih. Aku sama sepertimu, memiliki asa juga mimpi terenda dalam benak pun termaktub di jiwa. Punyai angan juga harapan yang selalu tersisa di ujung cemas. Hanya saja, kita tak pernah benar-benar menjadi sama. "Aku dengan jalanku", seperti dulu kau pernah mengatakannya kepadaku. Begitu juga dirimu yang selalu tegar dan begitu idealis dengan jalan yang kau tempuh, Kawan..

Kenyataan ini mengajariku banyak hal, terlampau banyak dari sekedar apa yang pernah ku terima di bangku sekolah. Meski tak urung, kenyataan juga yang telah menjadikanku bodoh dan begitu dungu, dengan segala kompleksitas hidup yang manipulatif dan tak sebatas abu-abu. Rentet musibah menyapa kala diri merasa begitu lelah. Ragam ujian merambat di celah kepercayaan diri yang tersumbat. Leluka juga pedih hidup bersambut seolah tanpa jeda.

Meski begitu, kembali kenyataan inilah yang membuatku menjadi lebih manusiawi, Kawan.. Ya, masih Aku merindukan secuil kegagalan, untuk membuatku lebih tegar. Aku mendamba sekali lagi sakit hati, untukku kemudian bisa memaafkan dan mampu memahami. Aku inginkan juga sedikit pujian, untuk mengajariku bersyukur. Aku mendamba bahagia secukupnya, agar tak mudah membuatku alpa.

Pun kenyataan ini jugalah yang akhirnya membawa kita berjabat tangan, dan bersama melukis kisah  diatas kanvas kehidupan. Sama halnya denganmu, Aku juga tak pernah tahu sebelumnya dengan siapa dan dimana nantinya aku dipertemukan. Seperti sama-sama tak tahunya kita, jika akhirnya dipertemukan di simpang perjalanan.

Bagaimanapun, aku senang mengenalmu, Kawan.. kaulah salah satu kenyataan hidup yang membuatku terus belajar. Belajar untuk tidak lagi seperti anak kecil yang menjengkelkan. Meski tak sepenuhnya menjadi seperti kebanyakan orang dewasa, yang katamu lebih sering menjadi korban perasaan. Aku hanya ingin belajar menjadi bijak, Kawan.. menurutmu, hanya orang bijak yang tahu kapan menjadi kecil, sebaliknya kapan harus bisa dewasa memandang persoalan.

Wednesday

Kepadamu, Hans..


Detik masih dengan angkuhnya memutari tabiatnya. Hari-hari meranum usia, merekam dan membuahkan ceritanya sendiri. Beberapa waktu menyisakan ingatan akan sesuatu, moment berharga pun sebaliknya, kejadian-kejadian yang terlalu ironis untuk akhirnya kita jadikan pelajaran nantinya. Bahkan tak jarang pula tanpa permisi fikiran kita melampaui masa silam tentang ingatan akan seseorang.

Mereka yang pernah ada. Mereka yang pernah peduli. Nama-nama yang pernah tertulis untuk bersamasama membungkus hidup dalam pahatan kisah temporer namun dalam meninggalkan tapak tak berbatas. Membekas dalam ruas-ruas hidup, memberi nyeri tak terperi namun juga membahagiakan. Menyakitkan, namun kenangnya menenangkan. Tidak ada lain, kecuali adanya menguatkan, mendewasakan diri yang terkadang masih sering menjadi egois dan kekanak-kanakan..

Hans.. laju hidup ini biarlah berjalan semestinya. Terus mengalir meski tanpa kita pernah tahu kapan akan berakhir. Ada beberapa hal yang harus diambil, direnungi dan dikhidmati dalam hidup. Bagaimanapun hembus nafas ini menyisipkan kesempatannya sendiri untuk tiap masing-masing diri kita menjadi.

Entah sudah berapa banyak nama yang telah hadir mewarnai lengkung perjalanan hidup ini bak bias semburat pelangi. Entah berapa sering peristiwa menjelma disetiap gerak. Sebagian merapuh dalam batas ruang. Sebagian yang lain tak pernah dengan sempurna tergantikan. Meski memudar terkadang, namun ingatan akannya kembali menggema manakala hati kecil ini mencoba membunyikan lagi kenang gaungnya. Seperti adamu yang selalu menyuara dihatiku..

A Meaningful Life is Bigger than a Happy Life (?)

Pada satu pagi di tahun 2017, cuit burung di luar rumah terdengar saling bersahut. Aku lupa kapan persisnya, tapi masih bisa kuingat udara p...