Wednesday

Bertahan Hidup - Part I



Kubiarkan ide dan prinsipku dikebiri kenyataan yang tak bisa kuhindari. Untuk kesekian kalinya aku harus memutuskan sesuatu yang padanya bahkan sama sekali tak ingin kujatuhkan pilihan.  

Ingatanku tak lepas pada pembahasan diskusi rutinan yang setiap minggunya kubahas dengan beberapa temanku selama tak kurang dari dua tahun masa berlalu. Masih melekat pemikiran Karl Mark tentang alienasi manusia. Tak bisa kita lihat memang harapan Mark sepenuhnya berhasil diterapkan, meski begitu dia dengan pemikirannya telah berkontribusi terhadap peradaban dunia. Teori dan analisisnya mungkin menemui jalan buntu untuk realisasi ide revolusi yang dielukannya, bagaimanapun analisisnya tentang alienasi manusia tak bisa kita acuhkan pada kenyataannya.

Betapapun besar gaji yang diterima seorang buruh; pekerja, pegawai sipil, karyawan bahkan dosen kampus-kampus ternama. Mereka tetaplah seorang buruh yang bekerja untuk orang lain. Tak pernah menjadi benar-benar merdeka untuk hidup sebagai manusia yang memiliki sendiri kebebasannya.

Selalu saja idealisme yang kita pagut erat terpaksa sekarat tergilas realita. 

Akhirnya, Mei 2013. Shit !! tiba giliranku menjadi buruh.

Kita tak mungkin selamanya menyandarkan hidup pada oran lain, orangtua sekalipun. Seperti kita yang tak mungkin meminta orangtua kita menyuapai kita setiap kali kita makan, atau menceboki kita setiap selesai buang hajat. Kita tak lagi bocah. Waktu beranjak, dan menjadikan kita seorang manusia dewasa yang harus bisa membersihkan ampas sendiri. Begitu juga untuk tetap menjalani hidup dengan keputusan dan tanggungjawab yang kita miliki.

Tak ada yang salah dengan bekerja. Hal terpenting yang mesti dilakukan manusia adalah bertahan hidup, salah satunya tentu saja dengan bekerja. Dengan begitu dia menghasilkan uang untuk bisa memenuhi kebutuhan dan keberlangsungan hidup yang ia jalani.

Kadang hidup hanya menghadapkan kita pada satu pilihan. Seperti kita yang harus bekerja untuk orang lain. Meski begitu orang tak harus menjadi bawahan bagi lainnya. Alih-alih upah yang memadai, kerap buruh diperas keringatnya tak ubahnya robot bermesin untuk merampungkan tugas melebihi porsi dan jam kerja semestinya. Yah, aku salah satu buruh outsourcing. Sistem yang dari dulu gencar kukecam. Sistem tak manusiawi yang semena memerah manusia. And damn ! this is what I must run now on..

Tak bisa kuingat mulai kapan, aku mulai hidup teratur. Jam kerja, istirahat, makan, belanja sampai ke toilet seperti sudah hafal kapan waktunya. Tentu saja hal ini baik untukku yang notabene seorang karyawan, yang perlu bekerja pagi buta atau siang bolong tergantung jadwal yang didiktekan admin. Aku perlu istirahat cukup untuk menjaga stamina dan tak mudah sakit agar setiap harinya aku tetap bisa bekerja seperti biasa. 

Days by days gone.. datar.. semua terlalu nyaman. Ada yang hilang, ada yang begitu kurindukan. Kenakalan, dan hidup yang sedikit berantakan. Namun kurasakan padanya, ada gairah dan kehidupan sebenarnya.

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEi4ZEgHRLbpzqTwpAgDikv7WDIT7wgZ0w0D0Ix9ZvpZJ3HI51nW4mE-vpJ3BW04rgsDxbboc9S_Y_HW1SXiMRvvEEkV0aQaA3Ec4EvkXPGxWNPBMFKMuLWSvY7Wdf4kr7pfoB6Eawu4LzQj/s1600/kapital+stamp.jpg

Fenny Wahyuni
Menanggal, Surabaya 14 Agustus 2013


  




No comments:

A Meaningful Life is Bigger than a Happy Life (?)

Pada satu pagi di tahun 2017, cuit burung di luar rumah terdengar saling bersahut. Aku lupa kapan persisnya, tapi masih bisa kuingat udara p...