Sunday

Sometimes, the Only Choice is Just Do It (Part II)

Aku masih disini, ditempat yang tak kuharapkan seharusnya. Setidaknya bukan untuk jangka panjang, semoga selalu ada kemungkinan terbaik. Aku selalu berharap secepat mungkin jika ada lingkungan yang lebih sesuai dengan keberadaanku, terlebih dalam cara pandang pada setiap hal. Bukankah selalu menyenangkan mengenal seorang yang memiliki pemikiran persis sebagaimana apa yang kita pikirkan? 

Aku mungkin nyaman dengan lingkungan disini, tapi tidak dengan kegelisahan yang setiap kalinya menumpuk, teronggok dalam benak. Pemikiran subversif yang tak mudah kuinjeksi dalam diriku selama ini, kini sedikit demi sedikit harus tergerus oleh rutinitas dan perasaan nyaman. Justru mungkin aku merasa terlalu nyaman dengan lingkunganku saat ini. Aku khawatir terlupa dengan diri asliku. Pribadi yang masih berupaya mendengar, mendekat pada mereka yang minoritas dan tertindas.

Nyatanya, aku hanya berfikir tentang kerja dan terbangun keesokan harinya untuk lagi bekerja. Semakin hari prinsip hidup serta idealisme yang kumiliki kian tak tersentuh bahkan oleh diriku sendiri. Aku kehilangan harapan serta mimpi akan adanya peradaban dunia yang lebih baik. Tidakkah itu terlalu muluk? Ah, mungkin juga tidak. Apapun, aku percaya sebagaimana permasalahan begitu juga jalan keluar berangkat dari masing-masing isi kepala. Dengan tetap membaca dan sesekali menulis, aku berupaya menjaga akalku agar tetap sehat serta tuhan dalam diri agar tak redup lalu mati, nurani.

Masih tentang pekerjaan,

... Aku hanya berfikir tentang hidupku sendiri, sama sekali tak lebih baik dari seorang pelacur.

Kalimat itu selalu mampu membuatku mual dan limbung tak sadarkan diri. Untuk kemudian aku merutuki kodrat.. Lantas sistem dalam diriku akan menegasi betapapun upaya pelacur mempertahankan hidup, patutkah mereka dipersalahkan atas ketakadilan takdirnya? Aku tak habis pikir, bagaimana bisa ada manusia yang terlahir sempurna, sebaliknya ada mereka yang tercipta dengan kesempurnaan keburukannya.

Sudah kubilang kawan, bukankah kerap takdir bertindak tak adil? Bukan, ini bukan persoalan dosa seperti yang kau pikirkan atau dendam juga bukan pembalasan. Lebih tepatnya permainan yang perlu berakhir seri, barangkali. FAIR !! 

http://dedensofyan.files.wordpress.com/2013/01/karl-marx.jpg?w=180&h=233




















Fenny Wahyuni
Menanggal, Surabaya 28th August 2013

No comments:

A Meaningful Life is Bigger than a Happy Life (?)

Pada satu pagi di tahun 2017, cuit burung di luar rumah terdengar saling bersahut. Aku lupa kapan persisnya, tapi masih bisa kuingat udara p...