Ritual 1 Syuro, Tuhan pun Ngopi di Gunung Kawi
Kwan Im dalam Eksotis Spiritualitas
Gumpalan hitam tebal menyelimuti malam, tepat setengah 1 dini hari setelah
sempat kulirik jam di ponselku mengarah. Suasana tampak sunyi, tak ada
suara-suara yang lantang terucap hanya seloroh kecil dan bisik yang nyaris tak
terdengar ditengah kerumun orang-orang. Gelap kembali merayapi atap langit
Gunung yang terletak di sebelah barat kota Malang, desa Wonosari ini. Bau
wangi-wangian khas kembang kuburan (biasa orang menyebutnya) tajam mencuat,
menerobos hidung yang mulai kedinginan. Tak ada lolongan Serigala, namun
suasana malam pertama di awal tahun baru Islam berdasarkan perhitungan Jawa di
tempat ini tak kalah keramatnya.
Beberapa orang terlihat sibuk mengangguk-anggukan setengah badannya didepan
Kwan Im, tempat bersembahyang etnis Tionghoa, sembari menelungkupkan kedua
tangannya pun tak alpa mulut mereka berkomat-kamit isyarat memohon doa. Ah, aku
tak tau persis artinya, hanya menaksir agaknya mereka memohon agar hidup
sejahtera, memiliki keturunan yang baik, mendapatkan kebahagiaan, terlindung
dari segala macam penyakit serta mengharapkan limpahan rejeki dan berkah.
Karena begitu juga biasanya aku berdoa.
Berkah merupakan satu kata yang paling
dipercayai memberi kebaikan serta keberuntungan dan di ingini setiap orang yang
berkunjung di tempat ini. Tak heran, jika setiap tahunnya mereka rela kembali
berduyun-duyun ke tempat yang diyakini sakral dan dipercaya mustajab (dimana
doa mudah terkabul) ini, tak lain agar mendapat berkah atau "ngalap
berkah" biasa orang Jawa menamainya.
Pesarean Inti, Paduan Ritual dan Doa...
Selang beberapa menit mengamati orang-orang yang tengah khusyuk berdoa.
Bersama beberapa kawan, aku berjalan menyusuri lorong dan ruas-ruas jalan kecil
yang sengaja ditata sedemikian rupa. Menaiki anak buah tangga yang akhirnya
membawa kami ke tempat yang bertuliskan "Pesarean Gunung Kawi",
kembali bau wangi kembang kuburan itu menyembul disela bebuluan hidung,
mencekat dan suasana seketika kurasakan bertambah keramat, horor, pikirku
menguatkan.
Kulihat sekeliling, beberapa orang menatap kami tajam. Aku pun tak
kalah tajamnya melihati mereka lengkap dengan aktifitas aneh (unik) yang baru
pertama kali ini ku saksikan. Sekelompok orang terlihat mengerumuni sebuah
pohon, duduk bersila di bawahnya dan terlena dalam khusuknya panjatan doa.
Setelah kucari tau pada salah seorang pengunjung disana dan membaca literatur
sejarah 1 suroan Gunung Kawi, ada kepercayaan bahwa barang siapa yang berada
dibawah pohon ini dan kejatuhan buahnya, maka ia akan mendapatkan rejeki yang
melimpah.
Sementara beberapa orang lainnya tampak berjalan memutari pendopo, tempat
berbentuk persegi ini adalah pesarean (makam) dari dua orang yang dahulu
dihormati di wilayah Gunung Kawi ini. Salah satunya kyai Zakaria yang dikenal
penduduk sekitar dengan sebutan Eyang Djunggo dan kedua, Raden Mas Iman
Sudjono. Kedua orang ini dikenal sebagai tokoh yang membantu Pangeran
Diponegoro pada masa perlawanan terhadap kolonial Belanda pada tahun 1825-1830.
Dan perayaan ritual suci satu suro setiap tahunnya ini merupakan pembuktian
penduduk untuk mengenang dan menghargai jasa kedua tokoh ini. Mereka
mengelilingi pesarean bak orang haji dengan ibadah tawafnya. Tak ingin
ketinggalan moment suci berkah ini, aku dan kawan-kawan pun ikut berkeliling
memutari pendopo bersama lalu lalang pengunjung lainnya, memaksakan diri
melebur dalam doa. Namun, terlebihnya kami ingin memuaskan rasa penasaran pada
apa yang ada di sekitar pesarean.
Pemandangan yang sama dengan apa yang terdapat di depan pesarean, tak
jarang di belakangnya orang-orang pun bersila dibawah pepohonan. Beberapa
orang Konghucu, Hindu, Budha dan Islam duduk terpekur dalam doanya. Ada juga
yang menangis sembari menundukkan kepalanya tepat di dinding belakang pembatas
pesarean.Tak ada yang aneh mestinya, toh ritual semacam ini bukan kali pertama
ku ikuti. Sebelumnya, aku pernah berkunjung di pesarean Sunan Drajat Lamongan,
Sunan Muria Jawa Tengah, mbah Alif Jombang, Jawa Timur. Dan aku pun pernah mengikuti
perayaan ritual satu suroan di pesarean Sunan Bonang Tuban, dan beberapa
pesarean sunan-sunan (wali) lainnya.
Keseluruhan inti ritual memang sama,
pemanjatan doa dan ngalap berkah. Namun, satu hal mencolok yang kulihat
berbeda, pengunjung yang datang di Gunung Kawi ini adalah para penganut dari
beberapa Agama yang berbeda, diantaranya Islam, Konghucu, Hindu dan Budha.
Kontras tapi menyatu, mereka berpadu dan berdoa di satu tempat yang sama.
That's what I comment of this sacral place, unique and fantastic !
Kembang (Kuburan) Pembawa keberuntungan ?
Mungkin terlihat aneh pada awalnya, masih takjub aku mengamati peribadatan
ragam agama di satu tempat yang sama ini. Para penganut Konghucu merapalkan
mantra dan doanya di depan pintu pesarean, sementara pengunjung lainnya lalu
lalang di sekitarnya. Beberapa penganut agama lainnya duduk memadati ruang di
dalam pesarean, berdoa. Di barisan paling depan, terlihat beberapa pengunjung
antri meminta kembang yang sudah dimantrai oleh sesepuh yang dituakan disitu,
mungkin panitia atau penunggu pesarean, pikirku kemudian.
Kembang ini dipercaya
perlambang kemakmuran dan keberuntungan. Aku dan kawan-kawan pun mencoba
peruntungan, membeli kembang di pelataran pesarean dan menukarnya pada tetua
panitia di dalam. Menerobos penunjung lainnya yang tengah duduk berdoa. Percaya
tak percaya, kami mendapatkan kembang keramat gantinya. Aih, semoga memang
beruntung, desisku diam-diam.
Rumah Penginapan, Hotel-Hotel Berjajar Sepanjang Jalan...
Sementara diluar, puluhan pengunjung lainnya tengah beristirahat, tidur
dengan rombongan dan juga keluarganya, tak lupa ada juga yang membawa serta
bayinya. Masing-masing tidur diatas tikar yang sengaja mereka bawa dari rumah.
Kecuali mereka yang memilih merehatkan diri di Musholla tepat di sebelah
pesarean. Dan beberapa pengunjung lainnya yang berminat mencari penginapan dan
bermalam di hotel atau rumah-rumah penduduk setempat yang disewakan yang
terdapat di sepanjang jalan menuju pesarean.
Dan Tuhan-Tuhan itu pun Berdamai, Ngopi di Warung Angkringan Gunung Kawi...
Ritual satu suroan kali ini kurasakan berbeda dari yang sebelumnya pernah
ku ikuti. Orang-orang dengan background kepercayaan yang berbeda, menyatu
mengucap syukur dan doa dalam satu tempat peribadatan yang sama. Ganjil, tapi bukan
berarti tak mungkin. Kendati agama dan tuhan masing-masing berbeda, bukankah
pada esensinya Tuhan bagi setiap pemercaya agama adalah satu, sama?
Sementara malam terus berjalan, hening terengah menghembuskan dingin yang
semakin. Kembali sunyi hadir disela perasaan was-was dan khawatir. Aku dan
kawan-kawan berjalan turun di sepanjang jalan mencari jajanan pengganjal perut
yang sedari tadi keroncongan. Dalam riuh tawa kami mencomot jajanan hangat
warung penduduk. Ada yang lain, selintas kurasakan tuhan-tuhan dari beragam
agama pun hadir dan turut bercengkrama.
Ku dapati para tuhan itu bersantai
selepas memutuskan untuk saling berdamai. Tak lupa sebagai pengikat keakraban,
mereka pun menyeruput kopi yang tampak mengepul bersama rombongan kami di salah
satu warung angkringan di Gunung Kawi subuh itu. Sebelum akhirnya kami beranjak
dan memutuskan beristirahat menunggu ritual dan kirab sesaji pagi harinya.. []
*Tulisan lepas sepulang mengikuti safari Jurnalistik perayaan ritual 1 suro
di Gunung Kawi, 26/11. Masih, kembang (kuburan) itu kugantung di kamar kosku.
Ahaii.. demi keberuntungan, sssttt... siapa tau ?? ^_^ ~ repost from my facebook note
Comments