Tanpa Buruh, Pabrik dan Perusahaan-Perusahaan Tak Lebih Sarang Hantu


 Masih tentang buruh,

Akhir-akhir ini kerap ada kerumunan bukan protes lebih pada menuntut hak, ya, demo aksi para buruh meminta haknya pada para pemodal pabrik, kantor, perusahaan-perusahaan tempat mereka bekerja. Profesi bukanlah sebatas keahlian, melainkan komitmen. Cukup manusiawikah menilainya dengan gaji, sebesar apapun itu? Apalagi dengan upah UMK pekerja saat ini, kupikir semua sadar, sampai kapanpun UMK itu tak kan bisa membuat para buruh hidup sejahtera. 

Surabaya misalnya, UMK yang 1.7 juta setiap bulannya. Aku tak minat menghitung detil outcome para pekerja setiap harinya. Kebutuhan hidup para pekerja berbeda, pekerja lajang atau sebaliknya mereka yang sudah menikah. Tentu saja mereka yang berkeluarga, kian banyak pula kebutuhan dan tanggungannya.  Nilai 1.7 juta/bulan untuk komitmen pekerjaan mereka, adilkah?

Memang, hal terbesar dalam kita bekerja bukanlah uang melainkan upaya dan komitmen kita untuk bekerja dengan semaksimal dan sebaik mungkin. Tapi persoalannya tak sesimpel nominal itu. Ada persoalan lain yang lebih serius, yang tak boleh dibiarkan setiap buruh begitu saja. Ini soal keadilan. 

Sedikit obrolan teman-teman ngopi pagi ini..

“Mereka yang ngebuat barang jadi, malah tak bisa membelinya. Mudahnya, karyawan toko makanan cepat saji, hanya mampu beli nasi bungkus dipinggir tokonya,” ujar Jun wartawan Jawa Pos.
“Sedang disana, buruh pabrik rokok harus rela diperiksa sakunya setiap kali pulang kerja memastikan tak selintingpun rokok sengaja dibawa pulang oleh para pekerja, meski seper sekian detik pabrik-pabrik rokok itu mampu menghasilkan lebih dari seribu linting rokok dari mesin dan jasa pekerjanya”, sela Ariph yang kupastikan sedang menghisap lambat-lambat Djarum Filter yang tersisa satu-satunya tengah mengepul dimulutnya. Maklum, baru-baru ini dia ganti merk rokok, biasanya paling banter yang mampu ia linting ya rokok Halim. Aku yakin, saat ini Ariph sedang menikmati, meski masih juga sekedar Djarum Filter, agaknya ia tak henti bersyukur; ia bukan buruh pabrik rokok.
“Dan karyawan sepatu Nike, malah pakainya sepatu ATT yang ada lampunya,” kata Tanti tak berniat mengunggulkan atau merendahkan kedua merk perusahaan sepatu itu. Tapi, memperjelas bagaimana realitas hidup para pekerja begitu dikebiri kenyataannya. Tak hanya oleh para pemodal, hasil pabrik atau perusahaan-perusahaan bahkan paling fatal oleh dirinya sendiri.

Tak berlebihan jika Karl Mark bapak Das Kapital itu mendapatkan urutan nomor satu versi National Geographic sebagai orang paling berpengaruh dunia. Atau pula ada yang memberinya label selevel nabi (red: bukan nabi samawi). Terang, Mark tak sedang mencetuskan konsep utopis akan teorinya tentang Alienasi buruh. Sudah semestinya, buruh mendapatkan haknya untuk bisa hidup sejahtera.

Sekali lagi, ini tak sekedar persoalan nominal melainkan kesadaran, keadilan, mindset


http://nusantara-mancanegara.pelitaonline.com/system/news/images/117601/large/demo%20buruh.jpg?1362006856 
















Fenny Wahyuni
Menanggal, 13 November 2013


Comments

Popular Posts