Eukariota Cinta


Entah telah berapa purnama aku tak lagi melihatmu. Seperti silam, di ujung senja dengan setia kau menyulam cinta untukku. Tapi tidak untuk sekarang, kau menghilang tanpa pernah lagi menoleh ke belakang. Kau pergi begitu saja, tanpa sempat sepatahpun mengurai kata. Meninggalkan relief beribu rasa di hidupku: suka, cita, perih, ngilu juga cemburu kau toreh di lembarannya. Aku kehilanganmu, Hans..

http://kenuzi50.files.wordpress.com/2012/06/hujan-dan-rindu.jpg
Sekelebat bayang tentangmu membuyar khayalku di shubuh lalu. Kau dengan kaulmu, seperti rinai menggerimis kala ku rasa kerontang menjamah rinduku “Seperti yang telah tertitah; tak ada yang abadi. Tak bisa kita sangkal, begitupun juga jalinan ini. Jika nantinya kita harus berpisah. Tidak akan pernah ada yang mampu menggantikanmu dengan sempurna dihatiku”. Tatapanmu menerawang jauh menembus lapis lelangit, merengkuhku erat dalam dekapmu. Tak lagi kau renda kata, namun aku mampu menembus kedalaman batinmu yang meluap rasa. Tenggelam dalam pasrah yang musykil kau tawar. Perlahan, aku menguatkan pelukanku.

Serbuan buliran bening tiba-tiba menderas mengaliri celah di luar jendela kamarku. Aku tergagap, kembali membaui kenyataan tengah bercampur dengan aroma rumput basah dari luar rumah. Sedari dini tadi hujan mengguyur kesendirianku.
***
Tepat pukul 17.30 aku menyambangi tempat ritual kita biasa bertemu, yah, Cafe Pelangi tempat favoritmu. Suasana senja yang selalu romantis dengan secangkir teh Camomile dan Sencha di depanku. Pelan ku aduk, berharap meluruh dan mampu menenggelamkan semua kenangan tentangmu. “Empat tahun bukan waktu yang sebentar untuk memutuskan hidup bersama bayang-bayang, Hans.. Jika harus aku mengatakan ini, bukan berarti aku menghianatimu. Aku harap kau mengerti.” Sembari menyeruput teh di tanganku, monolog perbincangan meluncur lirih dari bicaraku. Rasa bersalah, cinta, benci, kecewa pun ngilu rindu menggelayut di bilik dada sebelah kiriku sejalan hitam laun menyempurna yaum. Gontai tubuhku meninggalkan Cafe Pelangi, menjauh dalam remang kenyataan.

Keputusan pahit yang ku ambil ini, bukan tanpa alasan. Aku tak ingin menyalahkanmu, yang bertahun pergi begitu saja tanpa secuilpun mewarta kabar. Aku pun tak ingin menyesali semua tentangmu yang terlanjur mengkristal di hening kenangan. Kau hidup selamanya di hatiku, Hans.. meski kini ku bulat putuskan, berusaha menerima penggantimu.
***
“Minggu sore aku ingin mengajakmu keluar, menikmati senja di Cafe Pelangi. Ada sedikit yang ingin aku bicarakan padamu. Kalau kau tak keberatan, Ai..” seruan Iyank mengagetkanku.
Sudah enam bulan ini terhitung aku tak lagi mendatangi tempat itu. Bukan tak ingin datang, lebih tepatnya aku ingin sengaja menjauh dari setiap hal yang begitu dekat dan melempar paksa ingatanku pada dunia laluku bersama Hans.. Apalagi setelah seminggu terakhir ini, aku telah menerima Iyank di hatiku.

Aku tahu, kadang aku merasa tak adil padanya. Bahkan sampai detik ini, meski ragaku bersama Iyank namun benakku kerap berpaling darinya. Dalam diam, aku menghianati ketulusan Iyank. Kembali aku menemuimu dalam kenangan, Hans.. pikiran tentangmu belum juga sempurna terhapuskan. “Ah, ini hanya soal waktu.” Pikirku menenangkan kecemasan serta rasa bersalahku pada Iyank

“OK. Kebetulan Minggu sore aku free.” sadar, sahutku pada Iyank dalam perbincangan via telephone malam itu

Pendar rembulan tak lagi ku rasa mesra. Ada yang hilang dari teduhnya. “Dimanapun kita berada nantinya, kita akan menatap langit yang sama. Pejamkan satu matamu, dan kau akan melihat bulan tak lebih besar dari ibu jarimu, Sayang..” Ah, lagi-lagi kalimat yang pernah kau bisikkan padaku kembali tanpa permisi memenuhi benak dan hatiku malam ini, Hans..

Aku tak boleh seperti ini, menggantungkan Iyank sebagai tempat pelarianku dari Hans. Aku harus berani mengatakan semuanya terus terang. Kalaupun Iyank harus memilih pergi. Aku harus bisa menerimanya. Dan malam kembali menjagaku dalam heningnya. Melupakankan segala nyeri dalam selimut hitamnya yang tebal. Aku terlelap dalam dekapnya yang hangat.  
***
“Camomile”, Iyank menyebut pesanannya. Ada hangat yang mengalir di seruas aliran darahku. “Kenapa Camomile? Kenapa musti di tempat ini? Kenapa harus lagi-lagi.. Ah, Hans.. ini tak adil.” Gerutuku dalam hati

“Ai.. ada yang ingin ku katakan padamu. Sebelumnya, aku terima jika nantinya kau harus marah atau membenciku.” Iyank membuka perbincangan

“Silahkan, Yank.. kebetulan, aku juga bermaksud mengatakan yang sama.” Hati-hati aku menimpali

“Baiklah, silahkan kau urai dulu maksudmu itu, Ai.. aku akan mendengarnya.” Kalimat Iyank meminta

Cangkir Camomile yang mengeras di tanganku. Semakin ku rasa membatu dalam ketegangan nyaliku mengurai kisahku bersama cinta yang merajai hatiku, tujuh tahun lalu sampai detik ini meski Iyank lah yang seharusnya berhak menerima balasan cintaku saat ini. “Tak tahu harus ku mulai dari mana, hanya yang aku tahu, aku harus mengatakannya padamu, Yank.. menceritakan silam juga cinta masa laluku yang selalu terngiang dari bilik rindu hingga ngilu penantianku selama empat tahun terakhir sampai detik kita bersama di sini, Yank.. Aku tak pernah mampu menghapus perih, kecewa, cemburu juga cinta untuknya, Yank.. Kupikir aku hanya butuh waktu dengan kehadiranmu. Maafkan aku..” semua kalimat itu menderas begitu saja dan di depan Iyank tak mampu ku tahan isakku

Lembut dan penuh sayang Iyank menggenggam tanganku hangat. Ada tenang dalam sentuhan kali pertamanya itu. Bukan ekspresi marah atau kekecewaan, Iyank tetap saja seperti biasanya mendaratkan senyum tulusnya padaku meski kerap tanpa sengaja aku mengecewakannya. “Kamu ingat berita kecelakaan seorang pemuda di persimpangan Universitas terkemuda di Malang empat tahun lalu itu, Ai? Tak lain si korban adalah Hans Herlambang, ya, kekasihmu..” Bagai disambar petir aku mendengarnya. Sontak kulepaskan genggaman tangan Iyank.

Bagaimana mungkin aku tak pernah tahu beritanya bahkan keadaan Hans yang tiba-tiba lenyap tanpa jejak selama empat tahun ini. Aku tak pernah mendapat jawaban jelas dari sahabat dekat maupun keluarganya.
“Maafkan aku, Hans.. harus salah memburai prasangka terhadapmu. Lalu di mana kau saat ini? Bagaimana keadaanmu di sana? Semoga ada cinta sejati yang merawat lukamu”  Kembali buliran kristal meluruhi pipiku bersama bertubi tanya dalam hatiku

“Dan kau tahu, Ai.. Hans terluka parah di bagian wajah dan kepalanya. Untuk sementara dia harus merelakan segala ingatannya dan dengan berat menerima solusi satu-satunya dari Dokter spesialis bedah plastik R.S Syaiful Anwar empat tahun lalu. Ya, Ai.. Hans telah menjadi orang lain saat ini. Bukan lagi Hans yang dulu kau kenal. Ia harus menerima operasi plastik wajahnya. Tapi tidak jiwa dan cintanya yang selalu untukmu. Tak pernah berubah sampai detik ini.” Dengan detail Iyank mengurai ceritanya

Setengah tak percaya, Ai membayangkan perih yang harus di alami Hans tanpanya. Kemana saja ia pergi saat Hans berjuang mempertaruhkan sebagian hidupnya. “Maafkan aku, Hans..” kembali kata yang sama keluar dari getir bibirnya. Ailin tak sedikitpun beranjak, terpaku dalam kerinduan dan rasa bersalah yang memuncak.

“Ai.. lembut Iyank mendongakkan kepala Ai yang sedari tadi lemas tertunduk. Hans sengaja menyembunyikan ini darimu semata dia tidak ingin merenggut kehidupan masa depanmu. Tapi akhirnya ia kembali sadar, Hans tak bisa hidup tanpa cintamu, Ai.. Iyank menatap dalam bola mata, Ai yang kemerahan.. mencari cinta yang sama di ujung empat tahun silam.

Ailin merasa ada yang berbeda dari Iyank, tatapan teduh itu rasanya telah ia kenali lama. Ya, Hans yang biasa menatapnya tajam dalam keteduhan. “H..Ha..Hans...?” perlahan dengan bibir bergetar, Ai memanggil Iyank setengah memastikan bahwa pria di depannya adalah cinta yang lama dinantikannya. Sembari tersenyum, Iyank mengangguk perlahan dan sejurus kemudian menghamburkan pelukannya pada Ai..

Note: Eukariota = organisme tinggi yang sel-selnya mempunyai inti sel sejati.

Malang, Mei 2012
*Cerpen ini telah diterbitkan oleh Penerbit Warung Antologi dalam Antologi Simfoni Rindu



Comments

Popular Posts