Eukariota Cinta
Entah telah berapa purnama aku tak lagi melihatmu.
Seperti silam, di ujung senja dengan setia kau menyulam cinta untukku. Tapi
tidak untuk sekarang, kau menghilang tanpa pernah lagi menoleh ke belakang. Kau
pergi begitu saja, tanpa sempat sepatahpun mengurai kata. Meninggalkan relief
beribu rasa di hidupku: suka, cita, perih, ngilu juga cemburu kau toreh di
lembarannya. Aku kehilanganmu, Hans..
Sekelebat bayang tentangmu membuyar khayalku di shubuh
lalu. Kau dengan kaulmu, seperti rinai menggerimis kala ku rasa kerontang
menjamah rinduku “Seperti yang telah tertitah; tak ada yang abadi. Tak bisa
kita sangkal, begitupun juga jalinan ini. Jika nantinya kita harus berpisah. Tidak
akan pernah ada yang mampu menggantikanmu dengan sempurna dihatiku”. Tatapanmu
menerawang jauh menembus lapis lelangit, merengkuhku erat dalam dekapmu. Tak
lagi kau renda kata, namun aku mampu menembus kedalaman batinmu yang meluap rasa.
Tenggelam dalam pasrah yang musykil kau tawar. Perlahan, aku menguatkan
pelukanku.
Serbuan buliran bening tiba-tiba menderas mengaliri celah
di luar jendela kamarku. Aku tergagap, kembali membaui kenyataan tengah
bercampur dengan aroma rumput basah dari luar rumah. Sedari dini tadi hujan
mengguyur kesendirianku.
***
Tepat pukul 17.30 aku menyambangi tempat ritual kita
biasa bertemu, yah, Cafe Pelangi tempat favoritmu. Suasana senja yang
selalu romantis dengan secangkir teh Camomile dan Sencha di depanku. Pelan ku
aduk, berharap meluruh dan mampu menenggelamkan semua kenangan tentangmu. “Empat
tahun bukan waktu yang sebentar untuk memutuskan hidup bersama bayang-bayang,
Hans.. Jika harus aku mengatakan ini, bukan berarti aku menghianatimu. Aku
harap kau mengerti.” Sembari menyeruput teh di tanganku, monolog
perbincangan meluncur lirih dari bicaraku. Rasa bersalah, cinta, benci, kecewa
pun ngilu rindu menggelayut di bilik dada sebelah kiriku sejalan hitam laun
menyempurna yaum. Gontai tubuhku meninggalkan Cafe Pelangi, menjauh dalam
remang kenyataan.
Keputusan pahit yang ku ambil ini, bukan tanpa alasan.
Aku tak ingin menyalahkanmu, yang bertahun pergi begitu saja tanpa secuilpun
mewarta kabar. Aku pun tak ingin menyesali semua tentangmu yang terlanjur
mengkristal di hening kenangan. Kau hidup selamanya di hatiku, Hans.. meski
kini ku bulat putuskan, berusaha menerima penggantimu.
***
“Minggu sore aku ingin mengajakmu keluar, menikmati senja
di Cafe Pelangi. Ada sedikit yang ingin aku bicarakan padamu. Kalau kau tak
keberatan, Ai..” seruan Iyank
mengagetkanku.
Sudah enam bulan ini terhitung aku tak lagi mendatangi
tempat itu. Bukan tak ingin datang, lebih tepatnya aku ingin sengaja menjauh
dari setiap hal yang begitu dekat dan melempar paksa ingatanku pada dunia laluku
bersama Hans.. Apalagi setelah seminggu terakhir ini, aku telah menerima Iyank
di hatiku.
Aku tahu, kadang aku merasa tak adil padanya. Bahkan
sampai detik ini, meski ragaku bersama Iyank namun benakku kerap berpaling
darinya. Dalam diam, aku menghianati ketulusan Iyank. Kembali aku menemuimu
dalam kenangan, Hans.. pikiran tentangmu belum juga sempurna terhapuskan. “Ah,
ini hanya soal waktu.” Pikirku menenangkan kecemasan serta rasa bersalahku
pada Iyank
“OK. Kebetulan Minggu sore aku free.” sadar, sahutku pada Iyank dalam perbincangan via
telephone malam itu
Pendar rembulan tak lagi ku rasa mesra. Ada yang hilang
dari teduhnya. “Dimanapun kita berada nantinya, kita akan menatap langit
yang sama. Pejamkan satu matamu, dan kau akan melihat bulan tak lebih besar
dari ibu jarimu, Sayang..” Ah, lagi-lagi kalimat yang pernah kau bisikkan
padaku kembali tanpa permisi memenuhi benak dan hatiku malam ini, Hans..
Aku tak boleh seperti ini, menggantungkan Iyank sebagai
tempat pelarianku dari Hans. Aku harus berani mengatakan semuanya terus terang.
Kalaupun Iyank harus memilih pergi. Aku harus bisa menerimanya. Dan malam
kembali menjagaku dalam heningnya. Melupakankan segala nyeri dalam selimut
hitamnya yang tebal. Aku terlelap dalam dekapnya yang hangat.
***
“Camomile”,
Iyank menyebut pesanannya. Ada hangat yang mengalir di seruas aliran darahku. “Kenapa
Camomile? Kenapa musti di tempat ini? Kenapa harus lagi-lagi.. Ah, Hans.. ini
tak adil.” Gerutuku dalam hati
“Ai.. ada yang ingin ku katakan padamu. Sebelumnya, aku
terima jika nantinya kau harus marah atau membenciku.” Iyank membuka perbincangan
“Silahkan, Yank.. kebetulan, aku juga bermaksud
mengatakan yang sama.” Hati-hati aku
menimpali
“Baiklah, silahkan kau urai dulu maksudmu itu, Ai.. aku
akan mendengarnya.” Kalimat Iyank
meminta
Cangkir Camomile yang mengeras di tanganku. Semakin ku
rasa membatu dalam ketegangan nyaliku mengurai kisahku bersama cinta yang
merajai hatiku, tujuh tahun lalu sampai detik ini meski Iyank lah yang
seharusnya berhak menerima balasan cintaku saat ini. “Tak tahu harus ku
mulai dari mana, hanya yang aku tahu, aku harus mengatakannya padamu, Yank..
menceritakan silam juga cinta masa laluku yang selalu terngiang dari bilik
rindu hingga ngilu penantianku selama empat tahun terakhir sampai detik kita
bersama di sini, Yank.. Aku tak pernah mampu menghapus perih, kecewa, cemburu
juga cinta untuknya, Yank.. Kupikir aku hanya butuh waktu dengan kehadiranmu. Maafkan
aku..” semua kalimat itu menderas begitu saja dan di depan Iyank tak mampu
ku tahan isakku
Lembut dan penuh sayang Iyank menggenggam tanganku
hangat. Ada tenang dalam sentuhan kali pertamanya itu. Bukan ekspresi marah
atau kekecewaan, Iyank tetap saja seperti biasanya mendaratkan senyum tulusnya
padaku meski kerap tanpa sengaja aku mengecewakannya. “Kamu ingat berita
kecelakaan seorang pemuda di persimpangan Universitas terkemuda di Malang empat
tahun lalu itu, Ai? Tak lain si korban adalah Hans Herlambang, ya, kekasihmu..”
Bagai disambar petir aku mendengarnya. Sontak kulepaskan genggaman tangan
Iyank.
Bagaimana mungkin aku tak pernah tahu beritanya bahkan
keadaan Hans yang tiba-tiba lenyap tanpa jejak selama empat tahun ini. Aku tak
pernah mendapat jawaban jelas dari sahabat dekat maupun keluarganya.
“Maafkan aku, Hans.. harus salah memburai prasangka
terhadapmu. Lalu di mana kau saat ini? Bagaimana keadaanmu di sana? Semoga ada
cinta sejati yang merawat lukamu” Kembali buliran kristal meluruhi pipiku
bersama bertubi tanya dalam hatiku
“Dan kau tahu, Ai.. Hans terluka parah di bagian wajah
dan kepalanya. Untuk sementara dia harus merelakan segala ingatannya dan dengan
berat menerima solusi satu-satunya dari Dokter spesialis bedah plastik R.S
Syaiful Anwar empat tahun lalu. Ya, Ai.. Hans telah menjadi orang lain saat
ini. Bukan lagi Hans yang dulu kau kenal. Ia harus menerima operasi plastik
wajahnya. Tapi tidak jiwa dan cintanya yang selalu untukmu. Tak pernah berubah
sampai detik ini.” Dengan detail Iyank
mengurai ceritanya
Setengah tak percaya, Ai membayangkan perih yang harus di
alami Hans tanpanya. Kemana saja ia pergi saat Hans berjuang mempertaruhkan
sebagian hidupnya. “Maafkan aku, Hans..” kembali kata yang sama keluar
dari getir bibirnya. Ailin tak sedikitpun beranjak, terpaku dalam kerinduan dan
rasa bersalah yang memuncak.
“Ai.. lembut Iyank
mendongakkan kepala Ai yang sedari tadi lemas tertunduk. Hans sengaja
menyembunyikan ini darimu semata dia tidak ingin merenggut kehidupan masa
depanmu. Tapi akhirnya ia kembali sadar, Hans tak bisa hidup tanpa cintamu,
Ai.. Iyank menatap dalam bola mata, Ai yang kemerahan.. mencari cinta yang
sama di ujung empat tahun silam.
Ailin merasa ada yang berbeda dari Iyank, tatapan teduh
itu rasanya telah ia kenali lama. Ya, Hans yang biasa menatapnya tajam dalam
keteduhan. “H..Ha..Hans...?” perlahan dengan bibir bergetar, Ai
memanggil Iyank setengah memastikan bahwa pria di depannya adalah cinta yang lama
dinantikannya. Sembari tersenyum, Iyank mengangguk perlahan dan sejurus kemudian
menghamburkan pelukannya pada Ai..
Note: Eukariota = organisme tinggi yang sel-selnya mempunyai inti sel sejati.
Malang, Mei 2012
*Cerpen ini telah diterbitkan oleh Penerbit Warung Antologi dalam Antologi Simfoni Rindu
Comments