Menekuri Asamu, Ibu
biar dikata
ini puisi sampah
namun mengagumimu
tak pernah sudah
biar saja
ini bait tak seindah
—doamu
namun tak pernah
khatam aku mencintaimu
Bu, dalam getir
takdir hidup
nyala yang kau titipkan
di dada
tak redup-redup
Sebab Putih Warna Surga
tak berbilang silap ku hunuskan ucap kasar di
bening hatimu. tak jarang aku menjadi congkak, menyerbu putihmu dengan biru
peluru sembilu. pun kerap aku menjelma Malin Kundang di gagang waktumu yang
merapuh—tak sesaatpun padaku serapahmu mendarat. tak secuilpun kau lontar kalimat—kualat. Ibu, segalanya kau makrifat—meski tiadalah engkau malaikat. tiada pula hadirmu bak lukisan
bertema kebajikan. kau hanya perempuan berambut senja. berupaya menabur putihmu untuk
bungsu dan sulungmu. tak perlu kau beri aku merah, kuning juga kelabu pun warna
dunia selainnya. cukup satu—ku damba putihmu, Ibu. Putihmu yang jauh dari warna warni busuk interpretasi,
pun setitikpun putih kalbumu tak menyimpan hitam pretensi. bukan kosong, semata putih
itu engkau, Ibu.
No comments:
Post a Comment