Wednesday

Jazirah Kenangan



kulihat kota ini membeku dalam gigil
lengang jalanan
menyisakan basah birahi musim
angin tersengal tak beraturan
mencumbu wajah
juga bibirmu yang mulai gemetar
kedinginan

dikota ini
yang pernah merasakan hangat dekapmu
malam terkapar
dalam hening tanpa takar
tetes cairan lelangit sedari petang
menambah kesunyian begitu merajam
kata-kata pun
bersembunyi di balik nisan

tempat setiap kematian dikuburkan

orchestra syahdu
bertalu sepi tak terjamah. purnama hanya
separuh saja berjingkat
menabur pendar bersungut pekat yang dulu
menyesatkan langkahku
dari hangat ciumanmu yang lekat.
cinta  dan kenangan, keduanya
matikah? atau hanya sekarat
menanggung rindu begitu sarat? 


Fenny Wahyuni,
Malang, 16 Agustus 2012 - 01.30 am
*Ditulis sambil nyisir jalan tengah malam, pindah warkop, gemerutuk kedinginan. Memunguti sisa-sisa kenangan flashback empat tahun silam ~ *angin malam di Malang akhir bulan ini memang tak lagi berkawan, dinginnya menembus pori-pori dan belulang. Jadi nafsu pulaaangg..
  




Thursday

Secangkir Tequila Untuk Rasta..


 http://luckiindra7x.files.wordpress.com/2011/03/64298_teh_herbal.jpg


Mungkin kau beranggapan aku tak begitu dalam mengenalmu, pun sebaliknya tak banyak hal tentangku kau tahu. Hanya kebetulan saja kita berpapasan di simpang jalan menuju pulang. Basa basi atau sekedar memenuhi tradisi kita pun bertukar kabar, untuk kemudian saling berkelakar melebur setiap ke-aku-an. Sejenak jeda tentangnya, kalian, mereka juga kita biar bagaimanapun juga adalah cerita hidup yang patut kuhirup, kurasakan lebih dalam pun kukhidmati sebagai pendewasaan.

...Untukmu, yang tengah terduduk di sudut sepi

Tequila ini sengaja ku seduh untukmu, meski tak bisa menghilangkan seutuhnya, setidaknya tetesnya kuharapkan bisa menjadi penyembuh setiap luka yang sengaja masih kau rawat itu, yang kini mulai berkarat, meninggalkan cacat di ulu hatimu. Aku tidak sedang berusaha menghiburmu umpama lawakan amatiran. Aku juga tidak sedang berjibaku menemukan kunci hatimu yang cat merah jambunya tengah mengelupas di sisi pintu. Tidak pula aku mati-matian berfikir, mencipta puisi instan paling sihir supaya kau tanggalkan bayang-bayang kenangan yang urung membuatmu gemetar, mencibir getir tak tertangguhkan. Tidak. Tidak, Rasta.

Hanya saja tanpa sengaja perih dan gusar kesahmu menular, memercikkan api di semak hatiku yang perlahan berangsur kerontang. Ada ngilu serupa yang terlanjur ku kenal betul dalam bicaramu. Harum luka yang sama bisa kubaui di kalimatmu. Aku sama sekali tidak ingin kau merasakan nyeri yang berlapis tahun pernah mematikanku, tentu saja. Untuk itu, lembaran hijau dedaunan agave ini kuberikan padamu. Barangkali suatu waktu kau butuh sebagai pelepas dahaga rindu dan ingin sekali lagi menyeduh sendiri tequila buatanmu. Perlu kau tahu, hijau dedaunannya mengandung obat separo gila, sepanjang musim, semua usia, berlabel; ikhlas menerima segala tiba. Hiruplah kepulan aromanya sebelum kau reguk kali pertama, sembari kau detikkan doa di dada, semoga segala sakit segeralah reda.

Rasta,

Mungkin terkesan klise, tapi sememangnya hidup terkadang memberi kita dua pilihan berbeda dalam satu waktu. Saat itu kita tahu, ada kalanya kita harus belajar untuk melupakan dan mencintai sekaligus. Sekali lagi Rasta, jangan kau anggap ini sebagai nasehat atau pesan dari seorang tak beralamat. Atau kau boleh saja menyebutnya obat. Kemari dan duduklah di dekatku, mari bersulang untuk perjalanan ke depan kita dan kemungkinan-kemungkinannya yang indah. Bersama menggagahi takdir dengan menyesap tequila asa dalam cangkir. Dan hari ini biar saja waktu membeku sebentar saja disisi kita, sementara kita akan terbang bersama memasuki Norwegian Wood dalam kotak tivi, menyapa Toru Watanabe yang juga tengah berduka selepas kepergian Naoko di scene itu, untuk menyimak dan kemudian mengambil pelajaran dari pedihnya yang menguatkan;

Tak ada yang bisa menyembuhkan kita dari kehilangan orang yang kita cintai.

Tidak kebenaran

Tidak kejujuran
Tidak kekuatan
Tidak juga waktu.

Kadang satu-satunya hal yang harus kita lakukan adalah belajar memeluk tragedi..





Fenny Wahyuni
Malang, 10 Agustus 2012
*Teruntuk Rasta, pada perih harusnya kita berterimakasih

Salam Hangat, Pekat - Enyah Saja Kau, Persma !?

Kawanku Z di seberang,
Masih di sini, di seruas jalan warung angkringan tempat biasa kita dulu ngopi bersama, berbagi tanya, berbicara tentang hidup juga dunia yang kian kacau dengan segala kompleksitas ceritanya. Dengan gaya sok tahumu itu, tak jarang kau sinis menyinggung soal tak beresnya sistem pemerintahan negeri kita juga kehidupan rakyat kecilnya yang kian nelangsa. 

Ujungnya dengan berat dan putus asa, kembali kau menuding dirimu yang notabene anggota Persma juga turut urun merunyamkan kondisi sosial yang kian manyun dengan segala tetek bengek kekuasaan, politik, dogma agama juga perekonomiannya. Kalau sudah begitu, kau akan hunjamkan sebuah pertanyaan retoris padaku, yang aku tahu kau tak sungguh-sungguh menginginkan jawaban dariku.. Bagaimana eksistensi persma saat ini? Masihkah peran persma diperlukan?

Aku tak tahu harus mulai darimana, tapi aku merasa tertuntut juga untuk menjawab gelisahmu itu, Kawan.. OK lah, langsung saja, kita semua tahu bahwa persma selalu saja dalam kondisi dan posisi yang ambigu. Bagaimana tidak, jika sebagai mahasiswa, ia terbebani intelektualitas dan status akademiknya. Di lain sisi ia tetap harus mampu menjaga dirinya dengan professionalitasnya sebagai jurnalis sebagaimana pers pada umumnya.

Karena faktor inilah, posisi persma terkesan rapuh untuk diperhitungkan dalam obrolan pers nasional. Berdasarkan analisis Psikologi modern, kondisi semacam ini dinamai dengan ‘split personality’ atau adanya ambiguitas yang tak mudah dipecahkan. Sebagaimana yang pernah disinggung langsung oleh Lukman Hakim Arifin dalam tulisannya,

“Merujuk pada namanya, “pers mahasiswa”, esensi persma sebenarnya sudah cukup jelas. Persma adalah entitas-sintesis dari dua subjek yang sama-sama potensial dan berat; yang satu “pers” dan satunya lagi “mahasiswa”. Sebagai pers, ia dituntut mampu menjalankan fungsi-fungsi persnya secara konsekuen dan independen. Sedangkan sebagai mahasiswa, ia dituntut menjadi pelopor perubahan dan pemecah kebekuan. … Maka, ketika kedua entitas itu digabungkan, dapat dibayangkan betapa besar, agung, dan beratnya nama itu.    

Ambiguitas inilah, Kawan.. yang kemudian membawa disorientasi persma pasca-1998 semakin melesak dalam posisi yang tak tentu arah. Persma linglung akan eksistensinya sendiri. Ia tak pernah dengan benar mengerti kesehatan dan situasi pasar yang meliputi dirinya. Berapa orang yang membaca terbitannya? Sejauh mana pemberitaan itu mampu menunjukkan keberpihakan pada mereka yang tertindas? Atau setidaknya pada lapisan masyarakat kecil di kampusnya. Semisal berapa banyak mahasiswa yang membaca terbitan INOVASI?

Katakanlah isu yang diangkat adalah tentang Hari Ibu. Apa bisa dipastikan terbitan itu dibaca oleh perempuan atau ibu dalam kuantitas mayoritas? Sejauh mana terbitan itu memberi perubahan pada objek yang dibela? Hal ini tentu saja tidak dimengerti dengan baik oleh persma, meski sebenarnya mereka cukup memahami kondisinya yang dilematis dengan oplah yang tidak besar, masa edar tak tentu dan juga terbatasnya distribusi. Tapi toh, kembali mereka pun tak bisa berkutik.

“Mungkin saja kau mulai bosan dengan celotehanku ini, Kawan.. Namun inilah usaha maksimalku untuk membuatmu memahami gelisahku..” Dengan pembacaan kondisi persma seperti yang dipaparkan di atas. Timbul pertanyaan, hal apa saja yang menjadi penting untuk kita perhitungkan mengingat peran persma yang kian redup? Apakah persma akan kita biarkan tumbang dan enyah begitu saja? Atau jika tidak, bagaimana peran persma seharusnya? Hal ini penting untuk dikaji. Sebab, kawan.. pembacaan yang tepat atas pertanyaan-pertanyaan di atas akan membantu menentukan langkah dan arah persma ke depannya.


Fenny Wahyuni
Malang, April 2012
*Pre-editing naskah Essay-Competition oleh FE-UI Jakarta

Wednesday

Sinopsis Eulogi Bertasbih

Aku tidak perlu kuil-kuil, masjid atau gereja-gereja. Doaku sebagaimana udara. Biar saja berterbangan memenuhi semesta.
Aku bukanlah seorang suci. Bukan pula priyayi. Tidak juga pendeta atau tokoh agama selainnya. Aku hanya seorang pecinta, pemahat kata. Barisan abjad adalah doa padaNya. Aku ingin kau mengingatku sebagai penyair. Bersama hening tintaku khusyuk berdzikir.

Untuk satu alasan yang menjadi nafas di setiap gerak langkah. Menjadi penerang di setiap padamnya titik-titik cahaya. Membawa simpul hidup serta harapan, kala nyawa berniat meninggalkan raga. CintaMu Tuhan.. ku damba dalam doa.

Kehilangan juga perih kenyataan ini membuatku sekali lagi mengingat tuhan.

Sajak dan doa akan menenangkan keresahan juga kesepianmu, yang tak terjangkau oleh penjagaanku

Tak lagi ku ingini lupa ingatan. Jika kenangan ini adalah satu-satunya perbincangan antara kita dan tuhan.

Impian adalah tempat asa dimakamkan. Sedang doa adalah peziarah yang tak pernah tabah melupakan.

Tuhan, tak satupun doa kuhafal. Tidakkah kau dengar degup asa jiwaku berpijar?

Tak ku miliki janji yang megah. Cintaku sesederhana tanah. Jika ampunanMu adalah hujan, kan ku serap tiada sudah.

Aku tidak merapal mantra sebagaimana mereka menyebutnya doa. Hanya hati dan benakku senantiasa mengeja harap. Segalanya baik-baik saja, dan kau temukan bahagia itu disana. Semoga

 
Fenny Wahyuni,
Malang, 27 Juli 2012

A Meaningful Life is Bigger than a Happy Life (?)

Pada satu pagi di tahun 2017, cuit burung di luar rumah terdengar saling bersahut. Aku lupa kapan persisnya, tapi masih bisa kuingat udara p...