Salam Hangat, Pekat - Enyah Saja Kau, Persma !?

Kawanku Z di seberang,
Masih di sini, di seruas jalan warung angkringan tempat biasa kita dulu ngopi bersama, berbagi tanya, berbicara tentang hidup juga dunia yang kian kacau dengan segala kompleksitas ceritanya. Dengan gaya sok tahumu itu, tak jarang kau sinis menyinggung soal tak beresnya sistem pemerintahan negeri kita juga kehidupan rakyat kecilnya yang kian nelangsa. 

Ujungnya dengan berat dan putus asa, kembali kau menuding dirimu yang notabene anggota Persma juga turut urun merunyamkan kondisi sosial yang kian manyun dengan segala tetek bengek kekuasaan, politik, dogma agama juga perekonomiannya. Kalau sudah begitu, kau akan hunjamkan sebuah pertanyaan retoris padaku, yang aku tahu kau tak sungguh-sungguh menginginkan jawaban dariku.. Bagaimana eksistensi persma saat ini? Masihkah peran persma diperlukan?

Aku tak tahu harus mulai darimana, tapi aku merasa tertuntut juga untuk menjawab gelisahmu itu, Kawan.. OK lah, langsung saja, kita semua tahu bahwa persma selalu saja dalam kondisi dan posisi yang ambigu. Bagaimana tidak, jika sebagai mahasiswa, ia terbebani intelektualitas dan status akademiknya. Di lain sisi ia tetap harus mampu menjaga dirinya dengan professionalitasnya sebagai jurnalis sebagaimana pers pada umumnya.

Karena faktor inilah, posisi persma terkesan rapuh untuk diperhitungkan dalam obrolan pers nasional. Berdasarkan analisis Psikologi modern, kondisi semacam ini dinamai dengan ‘split personality’ atau adanya ambiguitas yang tak mudah dipecahkan. Sebagaimana yang pernah disinggung langsung oleh Lukman Hakim Arifin dalam tulisannya,

“Merujuk pada namanya, “pers mahasiswa”, esensi persma sebenarnya sudah cukup jelas. Persma adalah entitas-sintesis dari dua subjek yang sama-sama potensial dan berat; yang satu “pers” dan satunya lagi “mahasiswa”. Sebagai pers, ia dituntut mampu menjalankan fungsi-fungsi persnya secara konsekuen dan independen. Sedangkan sebagai mahasiswa, ia dituntut menjadi pelopor perubahan dan pemecah kebekuan. … Maka, ketika kedua entitas itu digabungkan, dapat dibayangkan betapa besar, agung, dan beratnya nama itu.    

Ambiguitas inilah, Kawan.. yang kemudian membawa disorientasi persma pasca-1998 semakin melesak dalam posisi yang tak tentu arah. Persma linglung akan eksistensinya sendiri. Ia tak pernah dengan benar mengerti kesehatan dan situasi pasar yang meliputi dirinya. Berapa orang yang membaca terbitannya? Sejauh mana pemberitaan itu mampu menunjukkan keberpihakan pada mereka yang tertindas? Atau setidaknya pada lapisan masyarakat kecil di kampusnya. Semisal berapa banyak mahasiswa yang membaca terbitan INOVASI?

Katakanlah isu yang diangkat adalah tentang Hari Ibu. Apa bisa dipastikan terbitan itu dibaca oleh perempuan atau ibu dalam kuantitas mayoritas? Sejauh mana terbitan itu memberi perubahan pada objek yang dibela? Hal ini tentu saja tidak dimengerti dengan baik oleh persma, meski sebenarnya mereka cukup memahami kondisinya yang dilematis dengan oplah yang tidak besar, masa edar tak tentu dan juga terbatasnya distribusi. Tapi toh, kembali mereka pun tak bisa berkutik.

“Mungkin saja kau mulai bosan dengan celotehanku ini, Kawan.. Namun inilah usaha maksimalku untuk membuatmu memahami gelisahku..” Dengan pembacaan kondisi persma seperti yang dipaparkan di atas. Timbul pertanyaan, hal apa saja yang menjadi penting untuk kita perhitungkan mengingat peran persma yang kian redup? Apakah persma akan kita biarkan tumbang dan enyah begitu saja? Atau jika tidak, bagaimana peran persma seharusnya? Hal ini penting untuk dikaji. Sebab, kawan.. pembacaan yang tepat atas pertanyaan-pertanyaan di atas akan membantu menentukan langkah dan arah persma ke depannya.


Fenny Wahyuni
Malang, April 2012
*Pre-editing naskah Essay-Competition oleh FE-UI Jakarta

Comments

Popular Posts