Saturday

Aku Mencintaimu, karena Kau Manusia Sepertiku


Agama adalah impotensi cara berpikir manusia untuk menjelaskan kejadian yang tidak dimengertinya. (Karl Mark)

Selintas aku membawa kembali mundur laju pikirku, ke masa kanak dimana segalanya tampak begitu jujur. Aku tersenyum mengenangnya, aku yang bermain dengan teman-teman seumuranku, berkecipak riang dibawah hujan tanpa perlu takut basah kuyup atau kemungkinan meriang. Hari-hari tanpa label dan satupun tendensi, tampak sebuah dunia kecil nyaris mendekati surga. Ya, ia tak mungkin berulang.

Ada yang tak sempat kupikirkan, semua berjalan sesuai aturannya. Aku, si bocah kecil hidup dalam gilasan aturan main yang entah siapa lebih dulu berperan sebagai produser. Hingga pada saatnya, aku harus bergerak memilih sendiri jalan dan tujuanku. Setiap pribadi adalah tuhan bagi takdirnya masing-masing. Aku percaya itu.

Pada waktunya, kita akan kembali dan mempertanyakan segalanya yang tertinggal di belakang. Aku bahkan tak mampu memperkenalkan diriku padamu. Aku berkata padamu; aku seorang yang mudah tersinggung, pemikir, suka berbincang dengan kesendirian, pengagum senja juga hujan... Ah, sama sekali itu bukan aku, tepatnya sebatas sifat yang melekat. Tak sepenuhnya menjadi alamat ke-aku-an-ku. Norma, budaya juga agama yang terlalu lama mengurung sebenarnya diriku, membuatku terlalu takut berkata jujur.

...Aku seorang beragama, mencintai mereka yang beragama. Tak munafik, sedikit banyak dulu sempat terpikir aku lebih baik dari mereka yang menyebut dirinya seorang Protestan, atau mereka yang Atheis. Ya, setidaknya aku akan mendapat surga setelah kematian nantinya. Begitu, kata mereka.

Pada akhirnya, setiap kita harus kembali pada nalar dan rasa kemanusiaan. Bahkan jika Tuhan berada ditengah-tengah setiap agama. Aku tak yakin, Tuhan akan memilih salah satu sebagai agamaNya. Bagaimanapun Dia Maha Adil.

Sejujurnya, aku tak bisa menanggalkan agamaku. Ia telah meluruh menjadi bagian diriku. Meski begitu, aku menghargai kalian sesama Muslim, kalian yang berbeda agama, kalian yang Atheis. Kalian yang mempercayai Tuhan tanpa merasa perlu beragama. Agama yang menurut kalian tak lebih sekedar kepercayaan yang dilembagakan.

Aku ingin menjadi kanak lagi,
kembali mendengarkan burung-burung pagi bernyanyi: yang aku duga mereka tak seperti kita. suaranya tak pernah membenci

Hari ini aku tak keberatan kau menyebutku seorang kafir. Aku mengakui kebenaran agama yang tak memberi batasan setiap pemeluknya bertanya dan kritis berpikir. Apapun agamamu, aku ingin mengenalmu, mencintaimu, menjadi bagian dari dirimu karena kau manusia sepertiku.


*Tuhan.. lain kali jika Kau ada waktu dan tak keberatan,
kami bisa mengajakMu serta bersembahyang...

























Fenny Wahyuni,
Menanggal - Surabaya, Mei 2013 

No comments:

A Meaningful Life is Bigger than a Happy Life (?)

Pada satu pagi di tahun 2017, cuit burung di luar rumah terdengar saling bersahut. Aku lupa kapan persisnya, tapi masih bisa kuingat udara p...