Friday

Things Called Memories


Kita tak pernah merencanakan dengan siapa kita jatuh cinta, seperti rasa takut, ia ada begitu saja.


Aku mengingatmu sebagai kesempurnaan. Keseluruhanku yang tak pernah sanggup kamu sangkal. Almanak, seperti yang selalu kamu bilang padaku, ia deret angka baku. Pada dasarnya tak sedikitpun bergerak, tak melaju. Meski begitu, kita tak pernah alpa berdoa pada tiap malam pergantiannya. Hari pertama-angka-ke-satu-tahun baru. Kau mendoakanku. Namamu, tak luput dalam doaku. 

Angka-angka di kalender itu, barangkali ia bilangan ajaib. Bahkan dalam satu waktu bersamaan, menawaran dua pilihan ia seolah barista mengantar dua gelas kopi ke meja pelanggannya. Sayangnya, tanpa kita bisa lebih dulu memesannya. Kopi yang jika kita teguk: didalamnya reguk bahagia sekaligus nyeri paling maha. Manis dan pekat. Pahit sekaligus nikmat. Sebagaimana cinta kita yang menanggung duka dunia. Dan hari ini, kembali kubaca pesan-pesan pendekmu yang indah, tiba-tiba duka menyergap. Ngilu rinduku lindap.

Angin musim bertiup ke utara. Dedaunan menanggalkan rantingnya. Para perempuan telah menutup pintu rumah dan jendela. Burung-burung gereja juga lelawa berlomba kembali ke sarangnya. Senjakala, lapis tipis lelangit membalik siang pada petang. Peraduan waktu yang perbatasan. Batas antara hidup yang pikuk dan petang yang gamang. Batas antara dua yang berseberangan namun tunggal. Batas antara datang dan kepergian.

Kita yang tiap senja tiba saling merindukan, meski bibir kita telah bertemu dengan gemetar. Aku dan kamu telah bersepakat dengan waktu, untuk tak saling melupakan. Untuk saling dalam mengingat. Saat semua telah tiba pada batas, kala semua telah sampai pada akhir, tidakkah satu-satunya anugerah  terbesar ialah hidup dalam ingatan seseorang. Seseorang pernah mengatakan, bukankah sebagian orang terlahir setelah kematian?


..Lantas kita sama-sama ingat, kita tak pernah benar-benar terlupa. Bukankah semua berpulang pada ingatan: tempat segala cerita, juga cinta bersemayam?


 




Fenny Wahyuni
Menanggal, 29 November 2013

Yang Tertinggal Bersama Rembulan


di kota ini,
satu persatu kenang kian usang dan tanggal
meski purnama tak pernah alpa mengingatkan
dahulu, dibawah terang pun temaramnya
ngilu rindu juga ciuman kita beradu pendar

pada satu malam dengan dinginnya yang merajam
pernah kalimatmu menghangatkan; ‘aku ingin mengenangmu seperti rembulan’
segala cerita menggumpal dan mengkristal dalam ingatan: 
biru sebuah kenangan

kini, bulan lalai pada waktu
semua melaju, membaru dan memburu
kita sama-sama pergi semakin jauh
aku melupakan wajahmu, wajahku terlupa olehmu
 
hari-hari berganti, untuk akhirnya menjadi tahun kemudian pergi

satu persatu kenang kian tergusur, rekah ingatan mulai gugur


..meski begitu, kelak kita sama-sama menamai;
cahaya bulan adalah keindahan tak terukur


http://static.republika.co.id/uploads/images/detailnews/bulan-purnama-tampak-tertutup-bayang-bayang-bumi-di-malam-di-_110614205116-949.jpg


Fenny Wahyuni
Menanggal, 26 November 2013

Tuesday

Tanpa Buruh, Pabrik dan Perusahaan-Perusahaan Tak Lebih Sarang Hantu


 Masih tentang buruh,

Akhir-akhir ini kerap ada kerumunan bukan protes lebih pada menuntut hak, ya, demo aksi para buruh meminta haknya pada para pemodal pabrik, kantor, perusahaan-perusahaan tempat mereka bekerja. Profesi bukanlah sebatas keahlian, melainkan komitmen. Cukup manusiawikah menilainya dengan gaji, sebesar apapun itu? Apalagi dengan upah UMK pekerja saat ini, kupikir semua sadar, sampai kapanpun UMK itu tak kan bisa membuat para buruh hidup sejahtera. 

Surabaya misalnya, UMK yang 1.7 juta setiap bulannya. Aku tak minat menghitung detil outcome para pekerja setiap harinya. Kebutuhan hidup para pekerja berbeda, pekerja lajang atau sebaliknya mereka yang sudah menikah. Tentu saja mereka yang berkeluarga, kian banyak pula kebutuhan dan tanggungannya.  Nilai 1.7 juta/bulan untuk komitmen pekerjaan mereka, adilkah?

Memang, hal terbesar dalam kita bekerja bukanlah uang melainkan upaya dan komitmen kita untuk bekerja dengan semaksimal dan sebaik mungkin. Tapi persoalannya tak sesimpel nominal itu. Ada persoalan lain yang lebih serius, yang tak boleh dibiarkan setiap buruh begitu saja. Ini soal keadilan. 

Sedikit obrolan teman-teman ngopi pagi ini..

“Mereka yang ngebuat barang jadi, malah tak bisa membelinya. Mudahnya, karyawan toko makanan cepat saji, hanya mampu beli nasi bungkus dipinggir tokonya,” ujar Jun wartawan Jawa Pos.
“Sedang disana, buruh pabrik rokok harus rela diperiksa sakunya setiap kali pulang kerja memastikan tak selintingpun rokok sengaja dibawa pulang oleh para pekerja, meski seper sekian detik pabrik-pabrik rokok itu mampu menghasilkan lebih dari seribu linting rokok dari mesin dan jasa pekerjanya”, sela Ariph yang kupastikan sedang menghisap lambat-lambat Djarum Filter yang tersisa satu-satunya tengah mengepul dimulutnya. Maklum, baru-baru ini dia ganti merk rokok, biasanya paling banter yang mampu ia linting ya rokok Halim. Aku yakin, saat ini Ariph sedang menikmati, meski masih juga sekedar Djarum Filter, agaknya ia tak henti bersyukur; ia bukan buruh pabrik rokok.
“Dan karyawan sepatu Nike, malah pakainya sepatu ATT yang ada lampunya,” kata Tanti tak berniat mengunggulkan atau merendahkan kedua merk perusahaan sepatu itu. Tapi, memperjelas bagaimana realitas hidup para pekerja begitu dikebiri kenyataannya. Tak hanya oleh para pemodal, hasil pabrik atau perusahaan-perusahaan bahkan paling fatal oleh dirinya sendiri.

Tak berlebihan jika Karl Mark bapak Das Kapital itu mendapatkan urutan nomor satu versi National Geographic sebagai orang paling berpengaruh dunia. Atau pula ada yang memberinya label selevel nabi (red: bukan nabi samawi). Terang, Mark tak sedang mencetuskan konsep utopis akan teorinya tentang Alienasi buruh. Sudah semestinya, buruh mendapatkan haknya untuk bisa hidup sejahtera.

Sekali lagi, ini tak sekedar persoalan nominal melainkan kesadaran, keadilan, mindset


http://nusantara-mancanegara.pelitaonline.com/system/news/images/117601/large/demo%20buruh.jpg?1362006856 
















Fenny Wahyuni
Menanggal, 13 November 2013


Ritual 1 Syuro, Tuhan pun Ngopi di Gunung Kawi


Kwan Im dalam Eksotis Spiritualitas

Gumpalan hitam tebal menyelimuti malam, tepat setengah 1 dini hari setelah sempat kulirik jam di ponselku mengarah. Suasana tampak sunyi, tak ada suara-suara yang lantang terucap hanya seloroh kecil dan bisik yang nyaris tak terdengar ditengah kerumun orang-orang. Gelap kembali merayapi atap langit Gunung yang terletak di sebelah barat kota Malang, desa Wonosari ini. Bau wangi-wangian khas kembang kuburan (biasa orang menyebutnya) tajam mencuat, menerobos hidung yang mulai kedinginan. Tak ada lolongan Serigala, namun suasana malam pertama di awal tahun baru Islam berdasarkan perhitungan Jawa di tempat ini tak kalah keramatnya.

Beberapa orang terlihat sibuk mengangguk-anggukan setengah badannya didepan Kwan Im, tempat bersembahyang etnis Tionghoa, sembari menelungkupkan kedua tangannya pun tak alpa mulut mereka berkomat-kamit isyarat memohon doa. Ah, aku tak tau persis artinya, hanya menaksir agaknya mereka memohon agar hidup sejahtera, memiliki keturunan yang baik, mendapatkan kebahagiaan, terlindung dari segala macam penyakit serta mengharapkan limpahan rejeki dan berkah. Karena begitu juga biasanya aku berdoa. 

Berkah merupakan satu kata yang paling dipercayai memberi kebaikan serta keberuntungan dan di ingini setiap orang yang berkunjung di tempat ini. Tak heran, jika setiap tahunnya mereka rela kembali berduyun-duyun ke tempat yang diyakini sakral dan dipercaya mustajab (dimana doa mudah terkabul) ini, tak lain agar mendapat berkah atau "ngalap berkah" biasa orang Jawa menamainya.

Pesarean Inti, Paduan Ritual dan Doa...

Selang beberapa menit mengamati orang-orang yang tengah khusyuk berdoa. Bersama beberapa kawan, aku berjalan menyusuri lorong dan ruas-ruas jalan kecil yang sengaja ditata sedemikian rupa. Menaiki anak buah tangga yang akhirnya membawa kami ke tempat yang bertuliskan "Pesarean Gunung Kawi", kembali bau wangi kembang kuburan itu menyembul disela bebuluan hidung, mencekat dan suasana seketika  kurasakan bertambah keramat, horor, pikirku menguatkan. 

Kulihat sekeliling, beberapa orang menatap kami tajam. Aku pun tak kalah tajamnya melihati mereka lengkap dengan aktifitas aneh (unik) yang baru pertama kali ini ku saksikan. Sekelompok orang terlihat mengerumuni sebuah pohon, duduk bersila di bawahnya dan terlena dalam khusuknya panjatan doa. Setelah kucari tau pada salah seorang pengunjung disana dan membaca literatur sejarah 1 suroan Gunung Kawi, ada kepercayaan bahwa barang siapa yang berada dibawah pohon ini dan kejatuhan buahnya, maka ia akan mendapatkan rejeki yang melimpah.

Sementara beberapa orang lainnya tampak berjalan memutari pendopo, tempat berbentuk persegi ini adalah pesarean (makam) dari dua orang yang dahulu dihormati di wilayah Gunung Kawi ini. Salah satunya kyai Zakaria yang dikenal penduduk sekitar dengan sebutan Eyang Djunggo dan kedua, Raden Mas Iman Sudjono. Kedua orang ini dikenal sebagai tokoh yang membantu Pangeran Diponegoro pada masa perlawanan terhadap kolonial Belanda pada tahun 1825-1830. 

Dan perayaan ritual suci satu suro setiap tahunnya ini merupakan pembuktian penduduk untuk mengenang dan menghargai jasa kedua tokoh ini. Mereka mengelilingi pesarean bak orang haji dengan ibadah tawafnya. Tak ingin ketinggalan moment suci berkah ini, aku dan kawan-kawan pun ikut berkeliling memutari pendopo bersama lalu lalang pengunjung lainnya, memaksakan diri melebur dalam doa. Namun, terlebihnya kami ingin memuaskan rasa penasaran pada apa yang ada di sekitar pesarean.

Pemandangan yang sama dengan apa yang terdapat di depan pesarean, tak jarang di belakangnya orang-orang  pun bersila dibawah pepohonan. Beberapa orang Konghucu, Hindu, Budha dan Islam duduk terpekur dalam doanya. Ada juga yang menangis sembari menundukkan kepalanya tepat di dinding belakang pembatas pesarean.Tak ada yang aneh mestinya, toh ritual semacam ini bukan kali pertama ku ikuti. Sebelumnya, aku pernah berkunjung di pesarean Sunan Drajat Lamongan, Sunan Muria Jawa Tengah, mbah Alif Jombang, Jawa Timur. Dan aku pun pernah mengikuti perayaan ritual satu suroan di pesarean Sunan Bonang Tuban, dan beberapa pesarean sunan-sunan (wali) lainnya. 

Keseluruhan inti ritual memang sama, pemanjatan doa dan ngalap berkah. Namun, satu hal mencolok yang kulihat berbeda, pengunjung yang datang di Gunung Kawi ini adalah para penganut dari beberapa Agama yang berbeda, diantaranya Islam, Konghucu, Hindu dan Budha. Kontras tapi menyatu, mereka berpadu dan berdoa di satu tempat yang sama. That's what I comment of this sacral place, unique and fantastic !

Kembang (Kuburan) Pembawa keberuntungan ?

Mungkin terlihat aneh pada awalnya, masih takjub aku mengamati peribadatan ragam agama di satu tempat yang sama ini. Para penganut Konghucu merapalkan mantra dan doanya di depan pintu pesarean, sementara pengunjung lainnya lalu lalang di sekitarnya. Beberapa penganut agama lainnya duduk memadati ruang di dalam pesarean, berdoa. Di barisan paling depan, terlihat beberapa pengunjung antri meminta kembang yang sudah dimantrai oleh sesepuh yang dituakan disitu, mungkin panitia atau penunggu pesarean, pikirku kemudian. 

Kembang ini dipercaya perlambang kemakmuran dan keberuntungan. Aku dan kawan-kawan pun mencoba peruntungan, membeli kembang di pelataran pesarean dan menukarnya pada tetua panitia di dalam. Menerobos penunjung lainnya yang tengah duduk berdoa. Percaya tak percaya, kami mendapatkan kembang keramat gantinya. Aih, semoga memang beruntung, desisku diam-diam.

Rumah Penginapan, Hotel-Hotel Berjajar Sepanjang Jalan...

Sementara diluar, puluhan pengunjung lainnya tengah beristirahat, tidur dengan rombongan dan juga keluarganya, tak lupa ada juga yang membawa serta bayinya. Masing-masing tidur diatas tikar yang sengaja mereka bawa dari rumah. Kecuali mereka yang memilih merehatkan diri di Musholla tepat di sebelah pesarean. Dan beberapa pengunjung lainnya yang berminat mencari penginapan dan bermalam di hotel atau rumah-rumah penduduk setempat yang disewakan yang terdapat di sepanjang jalan menuju pesarean. 

Dan Tuhan-Tuhan itu pun Berdamai, Ngopi di Warung Angkringan Gunung Kawi...

Ritual satu suroan kali ini kurasakan berbeda dari yang sebelumnya pernah ku ikuti. Orang-orang dengan background kepercayaan yang berbeda, menyatu mengucap syukur dan doa dalam satu tempat peribadatan yang sama. Ganjil, tapi bukan berarti tak mungkin. Kendati agama dan tuhan masing-masing berbeda, bukankah pada esensinya Tuhan bagi setiap pemercaya agama adalah satu, sama?

Sementara malam terus berjalan, hening terengah menghembuskan dingin yang semakin. Kembali sunyi hadir disela perasaan was-was dan khawatir. Aku dan kawan-kawan berjalan turun di sepanjang jalan mencari jajanan pengganjal perut yang sedari tadi keroncongan. Dalam riuh tawa kami mencomot jajanan hangat warung penduduk. Ada yang lain, selintas kurasakan tuhan-tuhan dari beragam agama pun hadir dan turut bercengkrama. 

Ku dapati para tuhan itu bersantai selepas memutuskan untuk saling berdamai. Tak lupa sebagai pengikat keakraban, mereka pun menyeruput kopi yang tampak mengepul bersama rombongan kami di salah satu warung angkringan di Gunung Kawi subuh itu. Sebelum akhirnya kami beranjak dan memutuskan beristirahat menunggu ritual dan kirab sesaji pagi harinya.. []







Fenny Wahyuni on Monday, 28 November 2011 at 13:57
*Tulisan lepas sepulang mengikuti safari Jurnalistik perayaan ritual 1 suro di Gunung Kawi, 26/11. Masih, kembang (kuburan) itu kugantung di kamar kosku. Ahaii.. demi keberuntungan, sssttt... siapa tau ?? ^_^ ~ repost from my facebook note

A Meaningful Life is Bigger than a Happy Life (?)

Pada satu pagi di tahun 2017, cuit burung di luar rumah terdengar saling bersahut. Aku lupa kapan persisnya, tapi masih bisa kuingat udara p...