Wednesday

Jazirah Kenangan



kulihat kota ini membeku dalam gigil
lengang jalanan
menyisakan basah birahi musim
angin tersengal tak beraturan
mencumbu wajah
juga bibirmu yang mulai gemetar
kedinginan

dikota ini
yang pernah merasakan hangat dekapmu
malam terkapar
dalam hening tanpa takar
tetes cairan lelangit sedari petang
menambah kesunyian begitu merajam
kata-kata pun
bersembunyi di balik nisan

tempat setiap kematian dikuburkan

orchestra syahdu
bertalu sepi tak terjamah. purnama hanya
separuh saja berjingkat
menabur pendar bersungut pekat yang dulu
menyesatkan langkahku
dari hangat ciumanmu yang lekat.
cinta  dan kenangan, keduanya
matikah? atau hanya sekarat
menanggung rindu begitu sarat? 


Fenny Wahyuni,
Malang, 16 Agustus 2012 - 01.30 am
*Ditulis sambil nyisir jalan tengah malam, pindah warkop, gemerutuk kedinginan. Memunguti sisa-sisa kenangan flashback empat tahun silam ~ *angin malam di Malang akhir bulan ini memang tak lagi berkawan, dinginnya menembus pori-pori dan belulang. Jadi nafsu pulaaangg..
  




Thursday

Secangkir Tequila Untuk Rasta..


 http://luckiindra7x.files.wordpress.com/2011/03/64298_teh_herbal.jpg


Mungkin kau beranggapan aku tak begitu dalam mengenalmu, pun sebaliknya tak banyak hal tentangku kau tahu. Hanya kebetulan saja kita berpapasan di simpang jalan menuju pulang. Basa basi atau sekedar memenuhi tradisi kita pun bertukar kabar, untuk kemudian saling berkelakar melebur setiap ke-aku-an. Sejenak jeda tentangnya, kalian, mereka juga kita biar bagaimanapun juga adalah cerita hidup yang patut kuhirup, kurasakan lebih dalam pun kukhidmati sebagai pendewasaan.

...Untukmu, yang tengah terduduk di sudut sepi

Tequila ini sengaja ku seduh untukmu, meski tak bisa menghilangkan seutuhnya, setidaknya tetesnya kuharapkan bisa menjadi penyembuh setiap luka yang sengaja masih kau rawat itu, yang kini mulai berkarat, meninggalkan cacat di ulu hatimu. Aku tidak sedang berusaha menghiburmu umpama lawakan amatiran. Aku juga tidak sedang berjibaku menemukan kunci hatimu yang cat merah jambunya tengah mengelupas di sisi pintu. Tidak pula aku mati-matian berfikir, mencipta puisi instan paling sihir supaya kau tanggalkan bayang-bayang kenangan yang urung membuatmu gemetar, mencibir getir tak tertangguhkan. Tidak. Tidak, Rasta.

Hanya saja tanpa sengaja perih dan gusar kesahmu menular, memercikkan api di semak hatiku yang perlahan berangsur kerontang. Ada ngilu serupa yang terlanjur ku kenal betul dalam bicaramu. Harum luka yang sama bisa kubaui di kalimatmu. Aku sama sekali tidak ingin kau merasakan nyeri yang berlapis tahun pernah mematikanku, tentu saja. Untuk itu, lembaran hijau dedaunan agave ini kuberikan padamu. Barangkali suatu waktu kau butuh sebagai pelepas dahaga rindu dan ingin sekali lagi menyeduh sendiri tequila buatanmu. Perlu kau tahu, hijau dedaunannya mengandung obat separo gila, sepanjang musim, semua usia, berlabel; ikhlas menerima segala tiba. Hiruplah kepulan aromanya sebelum kau reguk kali pertama, sembari kau detikkan doa di dada, semoga segala sakit segeralah reda.

Rasta,

Mungkin terkesan klise, tapi sememangnya hidup terkadang memberi kita dua pilihan berbeda dalam satu waktu. Saat itu kita tahu, ada kalanya kita harus belajar untuk melupakan dan mencintai sekaligus. Sekali lagi Rasta, jangan kau anggap ini sebagai nasehat atau pesan dari seorang tak beralamat. Atau kau boleh saja menyebutnya obat. Kemari dan duduklah di dekatku, mari bersulang untuk perjalanan ke depan kita dan kemungkinan-kemungkinannya yang indah. Bersama menggagahi takdir dengan menyesap tequila asa dalam cangkir. Dan hari ini biar saja waktu membeku sebentar saja disisi kita, sementara kita akan terbang bersama memasuki Norwegian Wood dalam kotak tivi, menyapa Toru Watanabe yang juga tengah berduka selepas kepergian Naoko di scene itu, untuk menyimak dan kemudian mengambil pelajaran dari pedihnya yang menguatkan;

Tak ada yang bisa menyembuhkan kita dari kehilangan orang yang kita cintai.

Tidak kebenaran

Tidak kejujuran
Tidak kekuatan
Tidak juga waktu.

Kadang satu-satunya hal yang harus kita lakukan adalah belajar memeluk tragedi..





Fenny Wahyuni
Malang, 10 Agustus 2012
*Teruntuk Rasta, pada perih harusnya kita berterimakasih

Salam Hangat, Pekat - Enyah Saja Kau, Persma !?

Kawanku Z di seberang,
Masih di sini, di seruas jalan warung angkringan tempat biasa kita dulu ngopi bersama, berbagi tanya, berbicara tentang hidup juga dunia yang kian kacau dengan segala kompleksitas ceritanya. Dengan gaya sok tahumu itu, tak jarang kau sinis menyinggung soal tak beresnya sistem pemerintahan negeri kita juga kehidupan rakyat kecilnya yang kian nelangsa. 

Ujungnya dengan berat dan putus asa, kembali kau menuding dirimu yang notabene anggota Persma juga turut urun merunyamkan kondisi sosial yang kian manyun dengan segala tetek bengek kekuasaan, politik, dogma agama juga perekonomiannya. Kalau sudah begitu, kau akan hunjamkan sebuah pertanyaan retoris padaku, yang aku tahu kau tak sungguh-sungguh menginginkan jawaban dariku.. Bagaimana eksistensi persma saat ini? Masihkah peran persma diperlukan?

Aku tak tahu harus mulai darimana, tapi aku merasa tertuntut juga untuk menjawab gelisahmu itu, Kawan.. OK lah, langsung saja, kita semua tahu bahwa persma selalu saja dalam kondisi dan posisi yang ambigu. Bagaimana tidak, jika sebagai mahasiswa, ia terbebani intelektualitas dan status akademiknya. Di lain sisi ia tetap harus mampu menjaga dirinya dengan professionalitasnya sebagai jurnalis sebagaimana pers pada umumnya.

Karena faktor inilah, posisi persma terkesan rapuh untuk diperhitungkan dalam obrolan pers nasional. Berdasarkan analisis Psikologi modern, kondisi semacam ini dinamai dengan ‘split personality’ atau adanya ambiguitas yang tak mudah dipecahkan. Sebagaimana yang pernah disinggung langsung oleh Lukman Hakim Arifin dalam tulisannya,

“Merujuk pada namanya, “pers mahasiswa”, esensi persma sebenarnya sudah cukup jelas. Persma adalah entitas-sintesis dari dua subjek yang sama-sama potensial dan berat; yang satu “pers” dan satunya lagi “mahasiswa”. Sebagai pers, ia dituntut mampu menjalankan fungsi-fungsi persnya secara konsekuen dan independen. Sedangkan sebagai mahasiswa, ia dituntut menjadi pelopor perubahan dan pemecah kebekuan. … Maka, ketika kedua entitas itu digabungkan, dapat dibayangkan betapa besar, agung, dan beratnya nama itu.    

Ambiguitas inilah, Kawan.. yang kemudian membawa disorientasi persma pasca-1998 semakin melesak dalam posisi yang tak tentu arah. Persma linglung akan eksistensinya sendiri. Ia tak pernah dengan benar mengerti kesehatan dan situasi pasar yang meliputi dirinya. Berapa orang yang membaca terbitannya? Sejauh mana pemberitaan itu mampu menunjukkan keberpihakan pada mereka yang tertindas? Atau setidaknya pada lapisan masyarakat kecil di kampusnya. Semisal berapa banyak mahasiswa yang membaca terbitan INOVASI?

Katakanlah isu yang diangkat adalah tentang Hari Ibu. Apa bisa dipastikan terbitan itu dibaca oleh perempuan atau ibu dalam kuantitas mayoritas? Sejauh mana terbitan itu memberi perubahan pada objek yang dibela? Hal ini tentu saja tidak dimengerti dengan baik oleh persma, meski sebenarnya mereka cukup memahami kondisinya yang dilematis dengan oplah yang tidak besar, masa edar tak tentu dan juga terbatasnya distribusi. Tapi toh, kembali mereka pun tak bisa berkutik.

“Mungkin saja kau mulai bosan dengan celotehanku ini, Kawan.. Namun inilah usaha maksimalku untuk membuatmu memahami gelisahku..” Dengan pembacaan kondisi persma seperti yang dipaparkan di atas. Timbul pertanyaan, hal apa saja yang menjadi penting untuk kita perhitungkan mengingat peran persma yang kian redup? Apakah persma akan kita biarkan tumbang dan enyah begitu saja? Atau jika tidak, bagaimana peran persma seharusnya? Hal ini penting untuk dikaji. Sebab, kawan.. pembacaan yang tepat atas pertanyaan-pertanyaan di atas akan membantu menentukan langkah dan arah persma ke depannya.


Fenny Wahyuni
Malang, April 2012
*Pre-editing naskah Essay-Competition oleh FE-UI Jakarta

Wednesday

Sinopsis Eulogi Bertasbih

Aku tidak perlu kuil-kuil, masjid atau gereja-gereja. Doaku sebagaimana udara. Biar saja berterbangan memenuhi semesta.
Aku bukanlah seorang suci. Bukan pula priyayi. Tidak juga pendeta atau tokoh agama selainnya. Aku hanya seorang pecinta, pemahat kata. Barisan abjad adalah doa padaNya. Aku ingin kau mengingatku sebagai penyair. Bersama hening tintaku khusyuk berdzikir.

Untuk satu alasan yang menjadi nafas di setiap gerak langkah. Menjadi penerang di setiap padamnya titik-titik cahaya. Membawa simpul hidup serta harapan, kala nyawa berniat meninggalkan raga. CintaMu Tuhan.. ku damba dalam doa.

Kehilangan juga perih kenyataan ini membuatku sekali lagi mengingat tuhan.

Sajak dan doa akan menenangkan keresahan juga kesepianmu, yang tak terjangkau oleh penjagaanku

Tak lagi ku ingini lupa ingatan. Jika kenangan ini adalah satu-satunya perbincangan antara kita dan tuhan.

Impian adalah tempat asa dimakamkan. Sedang doa adalah peziarah yang tak pernah tabah melupakan.

Tuhan, tak satupun doa kuhafal. Tidakkah kau dengar degup asa jiwaku berpijar?

Tak ku miliki janji yang megah. Cintaku sesederhana tanah. Jika ampunanMu adalah hujan, kan ku serap tiada sudah.

Aku tidak merapal mantra sebagaimana mereka menyebutnya doa. Hanya hati dan benakku senantiasa mengeja harap. Segalanya baik-baik saja, dan kau temukan bahagia itu disana. Semoga

 
Fenny Wahyuni,
Malang, 27 Juli 2012

Saturday

Solilukoi

bertatapan dengan cermin
selalu saja wajahmu beradu
tiap kali ku dapati senja membias jingga
dalam hitam malam yang begitu romantis
pada bilangan angka yang menamai dirinya: waktu

secuil angka itu terbujur di saku lusuh harapan
membebaskan benak juga degupku mengepung rembulan
membawa pergi adamu dari sudut paling remang
berselimut hangat serupa puisi dingin menikam

Sunday

Indonesiaku

hai Indonesia, bagaimana kabarmu?
ku sapa pagimu; laki-laki paruh baya
setia menenteng cangkulnya seolah pena
siap menerjemah tanah sawah miliknya,

di simpang trotoarmu, renta lanjut usia menggelar kedua tangannya
berharap iba juga keping rupiah dari saku celana yang melewatinya,
di seruas halte juga stasiunmu, bocah-bocah tak sekolah bernyanyi lagu sendu
menysisir jalanan dan kendaraan melintasi aspalmu
dengan polosnya ia tangkup receh
dari tangan-tangan yang menjulur setengah ragu,

selamat pagi, Indonseia, matahari hujankan sinarnya di tanahmu
isyarat salam, ia sampaikan padamu malu-malu.
kembali aku menyapamu, dengan cinta dalam kata sederhana.

Tuesday

Teruntuk Engkau, Ibu


Menekuri Asamu, Ibu

biar dikata
ini puisi sampah
namun mengagumimu
tak pernah sudah

biar saja
ini bait tak seindah
doamu
namun tak pernah
khatam aku mencintaimu

Bu, dalam getir
takdir hidup
nyala yang kau titipkan
di dada
tak redup-redup


Sebab Putih Warna Surga

tak berbilang silap ku hunuskan ucap kasar di bening hatimu. tak jarang aku menjadi congkak, menyerbu putihmu dengan biru peluru sembilu. pun kerap aku menjelma Malin Kundang di gagang waktumu yang merapuhtak sesaatpun padaku serapahmu mendarat. tak secuilpun kau lontar kalimatkualat. Ibu, segalanya kau makrifat—meski tiadalah engkau malaikat. tiada pula hadirmu bak lukisan bertema kebajikan. kau hanya perempuan berambut senja. berupaya menabur putihmu untuk bungsu dan sulungmu. tak perlu kau beri aku merah, kuning juga kelabu pun warna dunia selainnya. cukup satuku damba putihmu, Ibu. Putihmu yang jauh dari warna warni busuk interpretasi, pun setitikpun putih kalbumu tak menyimpan hitam pretensi. bukan kosong, semata putih itu engkau, Ibu.

Thursday

Eukariota Cinta


Entah telah berapa purnama aku tak lagi melihatmu. Seperti silam, di ujung senja dengan setia kau menyulam cinta untukku. Tapi tidak untuk sekarang, kau menghilang tanpa pernah lagi menoleh ke belakang. Kau pergi begitu saja, tanpa sempat sepatahpun mengurai kata. Meninggalkan relief beribu rasa di hidupku: suka, cita, perih, ngilu juga cemburu kau toreh di lembarannya. Aku kehilanganmu, Hans..

http://kenuzi50.files.wordpress.com/2012/06/hujan-dan-rindu.jpg
Sekelebat bayang tentangmu membuyar khayalku di shubuh lalu. Kau dengan kaulmu, seperti rinai menggerimis kala ku rasa kerontang menjamah rinduku “Seperti yang telah tertitah; tak ada yang abadi. Tak bisa kita sangkal, begitupun juga jalinan ini. Jika nantinya kita harus berpisah. Tidak akan pernah ada yang mampu menggantikanmu dengan sempurna dihatiku”. Tatapanmu menerawang jauh menembus lapis lelangit, merengkuhku erat dalam dekapmu. Tak lagi kau renda kata, namun aku mampu menembus kedalaman batinmu yang meluap rasa. Tenggelam dalam pasrah yang musykil kau tawar. Perlahan, aku menguatkan pelukanku.

Serbuan buliran bening tiba-tiba menderas mengaliri celah di luar jendela kamarku. Aku tergagap, kembali membaui kenyataan tengah bercampur dengan aroma rumput basah dari luar rumah. Sedari dini tadi hujan mengguyur kesendirianku.
***
Tepat pukul 17.30 aku menyambangi tempat ritual kita biasa bertemu, yah, Cafe Pelangi tempat favoritmu. Suasana senja yang selalu romantis dengan secangkir teh Camomile dan Sencha di depanku. Pelan ku aduk, berharap meluruh dan mampu menenggelamkan semua kenangan tentangmu. “Empat tahun bukan waktu yang sebentar untuk memutuskan hidup bersama bayang-bayang, Hans.. Jika harus aku mengatakan ini, bukan berarti aku menghianatimu. Aku harap kau mengerti.” Sembari menyeruput teh di tanganku, monolog perbincangan meluncur lirih dari bicaraku. Rasa bersalah, cinta, benci, kecewa pun ngilu rindu menggelayut di bilik dada sebelah kiriku sejalan hitam laun menyempurna yaum. Gontai tubuhku meninggalkan Cafe Pelangi, menjauh dalam remang kenyataan.

Keputusan pahit yang ku ambil ini, bukan tanpa alasan. Aku tak ingin menyalahkanmu, yang bertahun pergi begitu saja tanpa secuilpun mewarta kabar. Aku pun tak ingin menyesali semua tentangmu yang terlanjur mengkristal di hening kenangan. Kau hidup selamanya di hatiku, Hans.. meski kini ku bulat putuskan, berusaha menerima penggantimu.
***
“Minggu sore aku ingin mengajakmu keluar, menikmati senja di Cafe Pelangi. Ada sedikit yang ingin aku bicarakan padamu. Kalau kau tak keberatan, Ai..” seruan Iyank mengagetkanku.
Sudah enam bulan ini terhitung aku tak lagi mendatangi tempat itu. Bukan tak ingin datang, lebih tepatnya aku ingin sengaja menjauh dari setiap hal yang begitu dekat dan melempar paksa ingatanku pada dunia laluku bersama Hans.. Apalagi setelah seminggu terakhir ini, aku telah menerima Iyank di hatiku.

Aku tahu, kadang aku merasa tak adil padanya. Bahkan sampai detik ini, meski ragaku bersama Iyank namun benakku kerap berpaling darinya. Dalam diam, aku menghianati ketulusan Iyank. Kembali aku menemuimu dalam kenangan, Hans.. pikiran tentangmu belum juga sempurna terhapuskan. “Ah, ini hanya soal waktu.” Pikirku menenangkan kecemasan serta rasa bersalahku pada Iyank

“OK. Kebetulan Minggu sore aku free.” sadar, sahutku pada Iyank dalam perbincangan via telephone malam itu

Pendar rembulan tak lagi ku rasa mesra. Ada yang hilang dari teduhnya. “Dimanapun kita berada nantinya, kita akan menatap langit yang sama. Pejamkan satu matamu, dan kau akan melihat bulan tak lebih besar dari ibu jarimu, Sayang..” Ah, lagi-lagi kalimat yang pernah kau bisikkan padaku kembali tanpa permisi memenuhi benak dan hatiku malam ini, Hans..

Aku tak boleh seperti ini, menggantungkan Iyank sebagai tempat pelarianku dari Hans. Aku harus berani mengatakan semuanya terus terang. Kalaupun Iyank harus memilih pergi. Aku harus bisa menerimanya. Dan malam kembali menjagaku dalam heningnya. Melupakankan segala nyeri dalam selimut hitamnya yang tebal. Aku terlelap dalam dekapnya yang hangat.  
***
“Camomile”, Iyank menyebut pesanannya. Ada hangat yang mengalir di seruas aliran darahku. “Kenapa Camomile? Kenapa musti di tempat ini? Kenapa harus lagi-lagi.. Ah, Hans.. ini tak adil.” Gerutuku dalam hati

“Ai.. ada yang ingin ku katakan padamu. Sebelumnya, aku terima jika nantinya kau harus marah atau membenciku.” Iyank membuka perbincangan

“Silahkan, Yank.. kebetulan, aku juga bermaksud mengatakan yang sama.” Hati-hati aku menimpali

“Baiklah, silahkan kau urai dulu maksudmu itu, Ai.. aku akan mendengarnya.” Kalimat Iyank meminta

Cangkir Camomile yang mengeras di tanganku. Semakin ku rasa membatu dalam ketegangan nyaliku mengurai kisahku bersama cinta yang merajai hatiku, tujuh tahun lalu sampai detik ini meski Iyank lah yang seharusnya berhak menerima balasan cintaku saat ini. “Tak tahu harus ku mulai dari mana, hanya yang aku tahu, aku harus mengatakannya padamu, Yank.. menceritakan silam juga cinta masa laluku yang selalu terngiang dari bilik rindu hingga ngilu penantianku selama empat tahun terakhir sampai detik kita bersama di sini, Yank.. Aku tak pernah mampu menghapus perih, kecewa, cemburu juga cinta untuknya, Yank.. Kupikir aku hanya butuh waktu dengan kehadiranmu. Maafkan aku..” semua kalimat itu menderas begitu saja dan di depan Iyank tak mampu ku tahan isakku

Lembut dan penuh sayang Iyank menggenggam tanganku hangat. Ada tenang dalam sentuhan kali pertamanya itu. Bukan ekspresi marah atau kekecewaan, Iyank tetap saja seperti biasanya mendaratkan senyum tulusnya padaku meski kerap tanpa sengaja aku mengecewakannya. “Kamu ingat berita kecelakaan seorang pemuda di persimpangan Universitas terkemuda di Malang empat tahun lalu itu, Ai? Tak lain si korban adalah Hans Herlambang, ya, kekasihmu..” Bagai disambar petir aku mendengarnya. Sontak kulepaskan genggaman tangan Iyank.

Bagaimana mungkin aku tak pernah tahu beritanya bahkan keadaan Hans yang tiba-tiba lenyap tanpa jejak selama empat tahun ini. Aku tak pernah mendapat jawaban jelas dari sahabat dekat maupun keluarganya.
“Maafkan aku, Hans.. harus salah memburai prasangka terhadapmu. Lalu di mana kau saat ini? Bagaimana keadaanmu di sana? Semoga ada cinta sejati yang merawat lukamu”  Kembali buliran kristal meluruhi pipiku bersama bertubi tanya dalam hatiku

“Dan kau tahu, Ai.. Hans terluka parah di bagian wajah dan kepalanya. Untuk sementara dia harus merelakan segala ingatannya dan dengan berat menerima solusi satu-satunya dari Dokter spesialis bedah plastik R.S Syaiful Anwar empat tahun lalu. Ya, Ai.. Hans telah menjadi orang lain saat ini. Bukan lagi Hans yang dulu kau kenal. Ia harus menerima operasi plastik wajahnya. Tapi tidak jiwa dan cintanya yang selalu untukmu. Tak pernah berubah sampai detik ini.” Dengan detail Iyank mengurai ceritanya

Setengah tak percaya, Ai membayangkan perih yang harus di alami Hans tanpanya. Kemana saja ia pergi saat Hans berjuang mempertaruhkan sebagian hidupnya. “Maafkan aku, Hans..” kembali kata yang sama keluar dari getir bibirnya. Ailin tak sedikitpun beranjak, terpaku dalam kerinduan dan rasa bersalah yang memuncak.

“Ai.. lembut Iyank mendongakkan kepala Ai yang sedari tadi lemas tertunduk. Hans sengaja menyembunyikan ini darimu semata dia tidak ingin merenggut kehidupan masa depanmu. Tapi akhirnya ia kembali sadar, Hans tak bisa hidup tanpa cintamu, Ai.. Iyank menatap dalam bola mata, Ai yang kemerahan.. mencari cinta yang sama di ujung empat tahun silam.

Ailin merasa ada yang berbeda dari Iyank, tatapan teduh itu rasanya telah ia kenali lama. Ya, Hans yang biasa menatapnya tajam dalam keteduhan. “H..Ha..Hans...?” perlahan dengan bibir bergetar, Ai memanggil Iyank setengah memastikan bahwa pria di depannya adalah cinta yang lama dinantikannya. Sembari tersenyum, Iyank mengangguk perlahan dan sejurus kemudian menghamburkan pelukannya pada Ai..

Note: Eukariota = organisme tinggi yang sel-selnya mempunyai inti sel sejati.

Malang, Mei 2012
*Cerpen ini telah diterbitkan oleh Penerbit Warung Antologi dalam Antologi Simfoni Rindu



Saturday

Jejak yang Tertinggal.. (Untukmu, Adikku.. Kawan Kebanggaanku)


Aku sebagaimana kamu, biasa dan sederhana saja..  menjalani hidup sebagaimana mestinya. Mencoba tegap menapak arah disela gelisah. Berusaha tersenyum lirih di antara timbunan perih. Aku sama sepertimu, memiliki asa juga mimpi terenda dalam benak pun termaktub di jiwa. Punyai angan juga harapan yang selalu tersisa di ujung cemas. Hanya saja, kita tak pernah benar-benar menjadi sama. "Aku dengan jalanku", seperti dulu kau pernah mengatakannya kepadaku. Begitu juga dirimu yang selalu tegar dan begitu idealis dengan jalan yang kau tempuh, Kawan..

Kenyataan ini mengajariku banyak hal, terlampau banyak dari sekedar apa yang pernah ku terima di bangku sekolah. Meski tak urung, kenyataan juga yang telah menjadikanku bodoh dan begitu dungu, dengan segala kompleksitas hidup yang manipulatif dan tak sebatas abu-abu. Rentet musibah menyapa kala diri merasa begitu lelah. Ragam ujian merambat di celah kepercayaan diri yang tersumbat. Leluka juga pedih hidup bersambut seolah tanpa jeda.

Meski begitu, kembali kenyataan inilah yang membuatku menjadi lebih manusiawi, Kawan.. Ya, masih Aku merindukan secuil kegagalan, untuk membuatku lebih tegar. Aku mendamba sekali lagi sakit hati, untukku kemudian bisa memaafkan dan mampu memahami. Aku inginkan juga sedikit pujian, untuk mengajariku bersyukur. Aku mendamba bahagia secukupnya, agar tak mudah membuatku alpa.

Pun kenyataan ini jugalah yang akhirnya membawa kita berjabat tangan, dan bersama melukis kisah  diatas kanvas kehidupan. Sama halnya denganmu, Aku juga tak pernah tahu sebelumnya dengan siapa dan dimana nantinya aku dipertemukan. Seperti sama-sama tak tahunya kita, jika akhirnya dipertemukan di simpang perjalanan.

Bagaimanapun, aku senang mengenalmu, Kawan.. kaulah salah satu kenyataan hidup yang membuatku terus belajar. Belajar untuk tidak lagi seperti anak kecil yang menjengkelkan. Meski tak sepenuhnya menjadi seperti kebanyakan orang dewasa, yang katamu lebih sering menjadi korban perasaan. Aku hanya ingin belajar menjadi bijak, Kawan.. menurutmu, hanya orang bijak yang tahu kapan menjadi kecil, sebaliknya kapan harus bisa dewasa memandang persoalan.

Wednesday

Kepadamu, Hans..


Detik masih dengan angkuhnya memutari tabiatnya. Hari-hari meranum usia, merekam dan membuahkan ceritanya sendiri. Beberapa waktu menyisakan ingatan akan sesuatu, moment berharga pun sebaliknya, kejadian-kejadian yang terlalu ironis untuk akhirnya kita jadikan pelajaran nantinya. Bahkan tak jarang pula tanpa permisi fikiran kita melampaui masa silam tentang ingatan akan seseorang.

Mereka yang pernah ada. Mereka yang pernah peduli. Nama-nama yang pernah tertulis untuk bersamasama membungkus hidup dalam pahatan kisah temporer namun dalam meninggalkan tapak tak berbatas. Membekas dalam ruas-ruas hidup, memberi nyeri tak terperi namun juga membahagiakan. Menyakitkan, namun kenangnya menenangkan. Tidak ada lain, kecuali adanya menguatkan, mendewasakan diri yang terkadang masih sering menjadi egois dan kekanak-kanakan..

Hans.. laju hidup ini biarlah berjalan semestinya. Terus mengalir meski tanpa kita pernah tahu kapan akan berakhir. Ada beberapa hal yang harus diambil, direnungi dan dikhidmati dalam hidup. Bagaimanapun hembus nafas ini menyisipkan kesempatannya sendiri untuk tiap masing-masing diri kita menjadi.

Entah sudah berapa banyak nama yang telah hadir mewarnai lengkung perjalanan hidup ini bak bias semburat pelangi. Entah berapa sering peristiwa menjelma disetiap gerak. Sebagian merapuh dalam batas ruang. Sebagian yang lain tak pernah dengan sempurna tergantikan. Meski memudar terkadang, namun ingatan akannya kembali menggema manakala hati kecil ini mencoba membunyikan lagi kenang gaungnya. Seperti adamu yang selalu menyuara dihatiku..

Tuesday

Harga Kemanusiaan, Agama, dan Tuhan


Bibir pagi masih basah dengan senyum embunnya yang mengembang. Mendung mengabut di sela-sela harap dan cita. Segalanya masih sama, tampak abu-abu dalam samar nyala hidup yang kian menyemburat risau. Masa lalu adalah leluka juga suka cita yang tak patut dipersalahkan. Pun masa depan, biarlah merahasia sebatas tantangan. Hanya hari ini adalah milik kita, Sayang.. "Carpe diem!"  begitu kau pernah dengan lirih namun tegas berpesan.

Coffee Shop Jl. Bougenville no.57, tempat biasa sekaligus pertama kali kita bertemu. Aku disini menunggumu, di kursi paling pojok favoritmu. Tidak berbeda seperti kali pertama, kau datang dan tersenyum menjumpai diriku berjibaku dengan bukubuku dan secangkir kopi hitam pekat pesananku yang tak pernah banyak tingkah di meja depanku. Sejuk udara menerobos hangat di celah perbincangan yang lama tak lagi saling kita ritualkan, sejak kurang lebih dua setengah tahun lalu. Sedikit kaku, meski aku tahu kita sama-sama mengupayakan moment ini menjadi biasa lagi dengan sekedar ngobrol-ngobrol ringan. Bercerita tentang skenario hidup yang semakin rumit dengan plot antah berantahnya.Siapapun adalah tuhan atas takdirnya sendiri.

A Meaningful Life is Bigger than a Happy Life (?)

Pada satu pagi di tahun 2017, cuit burung di luar rumah terdengar saling bersahut. Aku lupa kapan persisnya, tapi masih bisa kuingat udara p...